CSR: Kewajiban atau Sukarela?
Oleh Sthefanny Avonina
Corporate social responsibility (CSR) merupakan momok bagi dunia usaha. Itulah kesan yang timbul ketika kalangan pengusaha dilanda keresahan terkait dengan diusulkannya penetapan CSR sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) dimana selama ini telah dijalankan dalam koridor suka dan rela. Sebenarnya, tidak penting apakah CSR bersifat kewajiban atau sukarela selama para pelaku usaha dan seluruh pihak terkait menyadari mengapa CSR itu ada dan signifikansi yang terkandung di dalamnya, baik bagi dunia usaha sendiri maupun seluruh masyarakat.
Konsep CSR
Konsep CSR secara sepintas menyalahi aturan emas dalam dunia usaha, yaitu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang minim. Kaum liberal menyatakan bahwa negaralah yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat tanpa adanya campur tangan dari dunia usaha. Dunia usaha sudah cukup melaksanakan kewajiban sosialnya melalui pembayaran pajak kepada negara.
Pada awalnya, memang terdapat batasan yang jelas antara dunia usaha dengan pemerintah dan masyarakat. Secara umum, negara bertanggung jawab untuk membuat dan mempertahankan ketentuan yang mengatur jalannya setiap aspek kehidupan di masyarakat, termasuk dalam hal ini masalah perpajakan; dunia usaha bertanggung jawab menciptakan kekayaan yang kemudian secara tidak langsung membangun perekonomian; dan masyarakat bertanggung jawab membangun dan membentuk masyarakat itu sendiri. Seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi, batasan-batasan tersebut tidak lagi dapat dipertahankan karena permasalahan yang muncul semakin komplek, melibatkan ketiga unsur tersebut secara bersamaan.
Konsep CSR muncul sebagai salah satu jawaban dari permasalahan komplek yang dihadapi oleh ketiga unsur tersebut (masyarakat, negara, dan pelaku usaha). CSR mengetengahkan suatu pandangan baru bahwa perusahaan harus dijalankan secara bertanggung jawab dalam segala tindakannya yang mempengaruhi orang, komunitas, dan lingkungan sekitar. Segala tindakan yang secara langsung maupun tidak langsung membahayakan orang, komunitas, dan lingkungan sekitar harus diantisipasi dan/atau ditanggulangi. Dalam prakteknya, hal ini dapat berarti perusahaan melupakan sebagian keuntungan yang seharusnya diperoleh jika dampak sosial dari usahanya membahayakan atau jika keuntungan tersebut dapat digunakan untuk memberikan dampak sosial yang positif.
Signifikansi CSR
Perusahaan merupakan organisasi yang terdiri dari suatu gabungan dari para pihak yang memberikan kontribusi terhadap kegiatan organisasi dimana masing-masing memiliki kepentingan dan terlibat karena ingin memperoleh keuntungan. Para pihak tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok primer (pemilik modal, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, pesaing, dan rekanan) dan kelompok sekunder (pemerintah setempat, pemerintah asing, masyarakat setempat, kelompok sosial, media masa, dan masyarakat luas).
Kelompok primer sudah jelas harus diperhatikan dalam suatu kegiatan usaha karena berhasil tidaknya suatu usaha tergantung pada hubungan yang tercipta didalamnya. Terkait dengan kelompok sekunder, dalam beberapa hal, kelompok ini bisa menjadi lebih penting dari kelompok primer. Dengan melihat pada kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia, masyarakat setempat dapat mempengaruhi hidup dan matinya suatu perusahaan. Ketika suatu perusahaan beroperasi tanpa mempedulikan kesejahteraan, nilai budaya, sarana dan prasarana lokal, maupun kepentingan masyarakat setempat, akan menimbulkan suasana sosial yang tidak kondusif dan tidak stabil bagi kelangsungan usaha tersebut. Dengan demikian, perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas pihak-pihak tertentu agar jangan sampai mendatangkan kerugian.
Pada umumnya, perusahaan menyadari adanya tanggung jawab sosial yang harus dipikul. Hal ini terbukti dengan dilakukannya CSR oleh beberapa perusahaan maupun yayasan, antara lain Bank BNI, PT. Indosat, Carrefour, PT. Newmont Indonesia, PT. Aneka Tambang, Yayasan Coca Cola Indonesia, Yayasan Sampoerna, Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Manulife Peduli, dan sebagainya. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah apakah kesadaran tersebut sudah dimiliki oleh seluruh perusahaan?
Kesadaran itu dapat menjadi tolok ukur bagi CSR untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan apakah cukup dengan kesukarelaan saja ataukah harus dengan kewajiban, apakah perusahaan tertentu atau seluruhnya yang seharusnya melaksanakan CSR, dan apakah perlu ditetapkan suatu persentase atau sanksi. Suatu hal menjadi wajib apabila akibat dari tidak dilakukannya hal tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi kepentingan para pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, CSR merupakan kewajiban atau sukarela menjadi tidak penting apabila melihat kepada pentingnya CSR itu sendiri. Tiap-tiap orang dapat menjawab sendiri ”CSR: kewajiban atau sukarela?”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar