Rabu, 15 Agustus 2007

Artikel tentang Trust

Overview tentang Prinsip-prinsip Hukum Trust

oleh Muhammad Faiz Aziz


I. Apa yang dimaksud dengan Trust?

Black’s Law Dictionary mendefinisikan Trust sebagai berikut:

The right, enforceable solely in equity, to the beneficial enjoyment of property to wich another person holds the legal title; a property interest held by one person (the trustee) at the request of another (the settlor) for a benefit of a third party (the beneficiary). For a trust to be valid, it must include a specific property, reflect the settlor’ s interest, and be created for a lawful purpose.[1]

Di samping definisi di atas, terdapat juga pengertian bahwa “a trust exist when a legal owner of property has to deal with that property for the exclusive benefit of another persons of for certain lawful purpose. The legal owner is called trustee and has a rights at law o hold and manage the property. The person or persons of benefit or whom the trustee must deal is the beneficiary.”[2]

Dari definisi atau pengertian di atas trust merupakan suatu konsep pemisahan kepemilikan antara pemilik benda secara hukum (legal owner) dan pemilik manfaat atas benda tersebut (beneficiary owner). Trust ini terjadi apabila terdapat suatu pihak yang mula-mula menguasai dan memiliki atas benda tersebut (settlor) kemudian menyerahkan hak milik atas benda kepada pihak lain (trustee) untuk kepentingan dan manfaat pihak ketiga (beneficiary). Benda yang dikuasai oleh trustee akibat penyerahan tersebut tidaklah kemudian dengan seenaknya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, namun trustee (walaupun sebagai legal owner atas benda tersebut) hanyalah berkedudukan sebagai pengurus, pengelola, dan pemegang benda tersebut. Sedangkan, manfaat atau kegunaannya harus diberikan kepada pihak ketiga.

Awal mula Trust berasal dari Inggris dengan sistem hukum common law-nya. Trust timbul karena adanya equity, dan tanpa adanya equity maka tidak ada trust.[3] Secara historis, equity adalah sistem yang berada di luar sistem common law dan merupakan prinsip-prinsip etikal yang dikembangkan oleh Court of Chancery. Court of Chancery sendiri merupakan suatu pengadilan yang memiliki extraordinary jurisdiction yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di dalam pengadilan common law.[4]

II. Apa persyaratan sahnya suatu trust?

Suatu trust memiliki karakteristik diantaranya adalah terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu settlor (pemilik asal), trustee (pemilik secara hukum setelah dialihkan), dan beneficiary (pemilik manfaat atau equity). Namun, untuk sahnya suatu trust, maka terdapat 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut[5]:
1. Certainty of words;
2. Certainty of subject; dan
3. Certainty of object

Yang dimaksud dengan certainty of words adalah adanya kepastian tentang kata-katanya atau tujuannya (intention). Dalam hal ini harus ada kepastian kata-kata yang menunjukkan settlor sudah mantap dengan keputusannya dengan menciptakan trusts.[6] Sedangkan yang dimaksud dengan certainty of subject adalah adanya kepastian mengenai sebjeknya yaitu benda atau properti.[7] Terakhir, yang dimaksud dengan certainty of object adalah adanya beneficiary yang akan menerima manfaat atas benda trust ini[8]. Ketiga syarat di atas harus ada, dan ketiadaan salah satunya menyebabkan bahwa peralihan kepemilikan atas benda tersebut tidaklah menciptakan suatu trusts.

III. Kedudukan Trustee dan Benerficiary terhadap benda atau properti Trust

Baik trustee maupun beneficiary mempunyai kepentingan atas kekayaan atau benda atau properti trust. Trustee merupakan legal owner dan beneficiary merupakan equitable owner atau beneficial owner. Jadi, legal interest dan equitable interest dapat berdampingan dalam kekayaan yang sama.

Dalam hal demikian, maka legal owner memiliki posisi yang lebih kuat atau dominan, karena:
1. Ia dapat menjual kekayaan tersebut dan mengalahkan equitable interest yang melekat pada kekayaan tersebut;
2. Ia dapat menuntut kembali kekayaan tersebut dari setiap orang yang secara melawan hukum menguasainya.

Jadi, hal dari legal owner merupakan hak kebendaan (real right atau right in rem) yang melekat pada benda itu sendiri dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang.[9]

Sedangkan equitable owner memiliki posisi yang lemah karena:
1. Hak atas kekayaan itu sendiri dapat musnah atau dikalahkan dengan dijualnya kekayaan tersebut oleh legal owner.
2. Haknya hanya dapat dipaksakan terhadap orang-orang yang memperoleh kepemilikan secara hukum atas kekayaan yang mengetahui akan adanya equitable interest-nya.[10]

Dengan demikian, hak dari equitable owner merupakan hak perorangan (personal right atau right in personam) yaitu suatu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu.

Baik trustee maupun beneficiary memperoleh hak dan kewajiban akan trust tersebut dari 3 (tiga) sumber yaitu akta trust (trust deed), putusan hakim (case law), dan peraturan perundang-undangan (statutory law or legislation).[11]

IV. Macam-macam Trust

Macam atau jenis trust dapat dilihat dari obyeknya ataupun dari cara terbentuknya. Dilihat dari obyeknya, ada 2 macam trust yaitu:[12]
1. Private trust, yaitu trust untuk kepentingan seseorang tertentu atau sekelompok orang; dan
2. Public trust, yaitu trust untuk tujuan kepentingan umum, misalnya trust untuk kepentingan kemajuan pendidikan.

Dilihat dari cara terbentuknya, maka terdapat 2 macam trust, yaitu sebagai berikut:[13]
1. Express trust, yaitu trust yang dibentuk secara tegas oleh pembuat trust. Suatu trust dapat dikatakan juga sebagai express trust apabila masih dapat diketahui secara pasti kehendak atau keinginan pokok dari pihak yang melahirkan trus tersebut.
2. Implied Trust, yaitu trust yang dibentuk dimana kepentingan atau keinginan dari settlor tidak disebutkan secara tegas dalam perbuatan hukum yang melahirkan trust tersebut. Implied Trust ini terbagi lagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Resulting trust, yaitu trust yang dapat disimpulkan dari perbuatan hukum para pihak; dan
b. Constructive trust, yaitu trust yang terbentuk karena pelaksanaan hukum dan pelaksanaannya dipaksakan oleh pengadilan.

Disamping jenis-jenis di atas terdapat satu jenis lagi yang diklasifikasikan yaitu Statutory Trust, dimana trust dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.[14]

V. Ciri atau karakteristik Trust

Ciri atau karakteristik trust dapat dilihat baik secara tradisional maupun berdasarkan perkembangan waktu. Ciri-ciri ini berkembang setiap waktunya seiring dengan perkembangan ekonomi dan hukum.

Secara tradisional, ciri dan karakteristik dari Trust adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Maurizio Lupoi, yaitu sebagai berikut:[15]
1. Adanya penyerahan suatu benda kepada Trustee, atau suatu pernyataan Trusts;
2. Adanya pemisahan kepemilikan benda tersebut dengan harta kekayaan milik Trustee yang lain;
3. Pihak yang menyerahkan benda tersebut (settlor), kehilangan kewenangannya atas benda tersebut;
4. Adanya pihak yang memperleh kenikmatan (beneficiary) atau suatu tujuan penggunaan benda tersebut, yang dikaitkan dengan kewajiban trustee untuk melaksanakannya;
5. Adanya unsur kepercayaan dalam penyelenggaraan kewajiban trustee tersebut, khususnya yang berkaitan dengan benturan kepentingan.

Ciri-ciri Trusts dalam tradisi hukum common law dalam perkembangannya bertambah memiliki ciri atau karakteristik sebagai berikut:[16]
1. Trusts melibatkan eksistensi dari 3 pihak, yaitu settlor, trustee dan beneficiary. Eksistensi dari 3 pihak ini dapat terjadi karena kehendak (dalam hal kematian – trust will) atau berdasarkan pada perjanjian (dalam hal penyerahan benda terjadi selama settor masih hidup – inter vivos trusts);
2. Dalam suatu trust selalu terjadi penyerahan benda atau hak kebendaan atas suatu benda. Hak kebendaan yang diserahkan ini dapat merupakan hak kebendaan yang paling luas (yaitu hak milik) maupun hak kebendaan yang merupakan turunan dari hak milik (misalnya dalam hal pemberian jaminan kebendaan dalam Indenture Trusts). Penyerahan hak kebendaan ini dilakukan oleh settlor kepada trustee.
3. Penyerahan benda atau hak kebendaan oleh settlor kepada trustee tersebut senantiasa dikaitikan dengan kewajiban trustee untuk menyerahkan kenikmatan atau manfaat atau hasil pengelolaan benda atau hak kebendaan yang diserahkan oleh settlor tersebut kepada beneficiary. Kewajiban tersebut disebutkan dengan tegas di dalam pernyataan atau perjanjian yang menciptakan trusts, peraturan perundang-undangan, atau putusan hakim.
4. Benda atau hak kebendaan yang diserahkan oleh settlor kepada trustee meskipun tercatat atas nama trustee haruslah merupakan kekayaan yang terpisah dari trustee;
5. Pada umumnya settlor, trustee, dan beneficiary adalah 3 pihak yang berbeda. Walau tidak selalu atau sering terjadi, settlor dimungkinkan untuk dapat menjadi beneficiary, demikian juga dengan trustee, dalam hal tertentu dapat juga menjadi beneficiary.

VI. Trust dalam transaksi komersial

Trust dalam perkembangan selanjutnya melebar masuk ke dalam transaksi komersial misalnya di dalam transaksi pasar modal. Transaksi Sekuritisasi, reksadana, dan penerbitan obligasi menjadi diantara transaksi yang menggunakan konsep trust. Dalam transaksi-transaksi ini yang menjadi settlor adalah originator (sekuritisasi) dan Investor (reksa dana dan obligasi). Sedangkan yang menjadi trustee adalah bank kustodian ataupun manajer investasi sebagai legal owner atas efek-efek yang diperdagangkan. Sedangkan beneficiary dari transaksi ini adalah investor sendiri. Baik perusahaan efek maupun manajer investasi sendiri, keduanya bisa juga berlaku sebagai beneficiary dalam transaksi di pasar modal. Transaksi di pasar modal membuat trust berkembang dan menjadi kompleks dimana masing-masing pihak dapat juga bertindak menjadi pihak lainnya.

VII. Trust dalam sistem hukum Indonesia

Konsep trust secara murni tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia terutama di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Namun sekalipun tidak dikenal, Prof Subekti melihat beberapa kemiripan antara trust dengan lembaga hukum yang berlaku di Indonesia.[17] Subekti merujuk kepada Pasal 1317 KUHPer yang berbunyi sebagai berikut:

Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.
Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.[18]

Perjanjian untuk pihak ketiga dalam pasal ini disebut dengan derden beding, dimana bedingnya bagi pihak ketiga tersebut merupakan suatu embel-embel dari suatu perjanjian pokok yang dibuat oleh dua orang lain, sedang dalam hal trust perjanjian itu semata-mata dibuat untuk menciptakan trust tersebut.[19]



[1] Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 7th ed., (St. Paul, Minnesota: West Group, 1999), p. 1513.

[2] Roger Douglas & Jane Knowler, Trusts in Principle, (Sydney: Lawbook Co., 2006), p. 2.

[3] Gunawan Widjaja, Teori dan Konsepsi tentang Trusts (Common Law Trusts dan Civil Law Trusts), PPH Newsletter, (Edisi No. 61/Juni/2005), hal. 16. Kutipan asli berasal dari Peter Joseph Loughlin, The Domestication of the trust: Bridging the Gap between common law and civil law, p. 3, http://juristconsultsgroup.com/Trusts.htm. Lebih lanjut dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa “equity is the system of law or body of principles originating in the English Court of Chancery and superseding the common and statute law (together called “law” in the narrow sense) when the two conflict . Lihat Bryan A. Gardner, op.cit., p. 560.

[4] Pengadilan Common Law terdiri dari 3 macam yaitu Court of Common Plea, the Court of King’s Bench, dan the Exchequer. Ketiganya dibentuk oleh Raja Henry II pada abad ke-12 dan memiliki ciri yang sangat statis, kaku, dan menunjukkan ketaatan seperti budak raja dan mengambil sebuah putusan. Lihat Roger Douglas & Jane Knowler, op.cit.

[5] Sri Sunarni Sunarto, Mengenal Lembaga Hukum Trust Inggris dan Perbandingannya di Indonesia, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1994), hal. 13-14.

[6] Gunawan Widjaja, Common Law Trusts, PPH Newsletter (Edisi No. 62/September/2005), hal. 23-24.

[7] Roger Douglas & Jane Knowler, op.cit., p. 27.

[8] Dalam public trust kepastian mengenai objek ini tidak diperlukan. Lihat Sri Sunarni Sunarto, op.cit.
[9] Sri Sunarni Sutarto, op.cit., hal. 9-10.

[10] Ibid.

[11] The rights and duties of trustees and beneficiaries derive from three sources: the trust deed, case law, and legislation. Lihat Roger Douglas & Jane Knowler, op.cit., p. 144.

[12] Sri Sunarni Sunarto, op.cit.

[13] Untuk penggolongan ini merujuk kepada penggolongan dari Sri Sunarni Sunarto dan Gunawan Widjaja. Lihat Sri Sunarni Sutarto, op.cit. dan lihat Gunawan Widjaja, loc.cit. hal. 18.
[14] Richard Edwards & Nigel Stockwell, Trusts and Equity, (London: Pearson Education Ltd., 2004), p. 13.

[15] Disebut tradisional karena ciri-ciri yang Trust diutarakan oleh Lupoi mirip dengan ciri-ciri awal trust pada awal mula keberadaan. Lihat Maurizio Lupoi, The Civil Law Trusts, Vanderbilt Journal of Transnational Law (Vol. 32:1999), p. 4.

[16] Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 34.
[17] Sri Sunarni, op.cit., hal. 53.

[18] Lihat Pasal 1317 KUHPer.

[19] Sri Sunarni Sutarto, op.cit., hal. 3.

Tidak ada komentar: