Rabu, 15 Agustus 2007

Artikel tentang Masalah Pengawasan Penipuan Investasi

PENGAWASAN TERHADAP PENIPUAN BERKEDOK PRODUK INVESTASI
Oleh Sthefanny Avonina

Pendahuluan
Terjadinya penipuan investasi terhadap masyarakat yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan menjanjikan imbal hasil yang sangat tinggi bukan merupakan hal baru lagi di Indonesia. Sudah terjadi beberapa kasus yang muncul ke permukaan, seperti kasus PT. Probest International Indonesia, PT. Qurnia Subur Alam Raya (PT. QSAR) di tahun 2002, PT. Add Farm, PT. Inter Banking Bisnis Terencana (Ibist) pada akhir 2006, PT. Wahana Bersama Globalindo (WBG-Dressel) pada awal 2007, dan kasus PT. Sarana Perdana Indoglobal (SPI). Jumlah dana yang berhasil digalang oleh perusahaan-perusahaan investasi tersebut sangat besar, berada pada hitungan miliar hingga triliunan rupiah. Para investor yang menjadi korban dari investasi inipun meliputi berbagai kalangan.
Inisiatif di akhir April 2007, dari Bapepam-LK, Bappebti, Bank Indonesia, dan Kepolisian berupa penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) untuk mencegah terjadinya penipuan investasi terulang kembali, hingga saat ini belum terealisasikan bahkan sudah tidak terdengar lagi gaungnya. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada kendala dalam implementasi SKB tersebut? Melihat pada institusi-institusi terkait dan efektifitas dari koordinasi ini, akan lebih baik apabila aturan main koordinasi tersebut berbentuk Keputusan Presiden terhadap enam institusi, kemudian dilakukan verifikasi atas produk-produk investasi, dan penetapan otoritas tunggal sebagai pengawas produk investasi.

Karakteristik Kasus-Kasus Penipuan Investasi
Skema dasar dari berbagai penipuan berkedok investasi adalah skema Ponzi, yaitu penipuan yang menjanjikan return luar biasa besar, yang sebenarnya didapatkan dari uang investor lain yang menginvestasikan uangnya belakangan dan bukan dari hasil pengelolaan uang para investor tersebut. Investor awal akan mendapatkan keuntungan karena langsung mendapatkan pengembalian sehingga terdorong untuk menginvestasikan lebih banyak lagi, sedangkan investor yang masuk belakangan akan lebih rentan terhadap ketiadaan return tinggi tersebut. Nama Ponzi sendiri diambil dari nama Charles Ponzi, imigran asal Italia yang menggunakan teknik ini untuk melakukan penipuan besar-besaran di Amerika Serikat pada tahun 1919-1920 dan 1926-1934.
Dari sekian banyak kasus penipuan investasi yang ada, apabila diperhatikan, terdapat beberapa karakteristik yang dapat diperoleh, antara lain:
1. penawaran return tinggi di atas rata-rata pasar dalam jangka waktu yang relatif singkat
2. tidak memberikan penjelasan mengenai resiko investasi yang ada dalam produknya
3. taktik penjualan yang memaksa (high pressure sales tactics)
4. baik perusahaan investasi maupun basis investasinya (underlying investment) tidak jelas, antara lain ketidakjelasan manajemen pengurus, kinerja investasi, maupun laporan keuangan yang lengkap dan sudah diaudit
5. ketiadaan izin penawaran investasi dari lembaga pengawas keuangan (seperti Bank Indonesia atau Bapepam-LK)

Celah Hukum
Saat ini terdapat tiga institusi besar yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan keuangan, khususnya investasi, yaitu Bapepam-LK bertindak sebagai regulator lembaga keuangan bukan bank, BI bertindak sebagai regulator perbankan, dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) bertindak sebagai regulator kegiatan perdagangan berjangka komoditi. Akan tetapi, ketiga lembaga tersebut ternyata “merasa” tidak memiliki kewenangan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang menawarkan produk investasi yang sebelumnya tidak mengajukan permohonan izin terlebih dahulu kepada ketiga lembaga tersebut. Di lain pihak, Kepolisian baru dapat melakukan tindakan setelah adanya laporan penipuan. Kondisi no man’s land ini merupakan celah hukum yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan investasi berupa perusahaan biasa yang memperoleh ijin usaha dari Dinas Perdagangan yang notabene adalah Departemen Perdagangan.

Koordinasi Antar Instansi Terkait
Koordinasi empat lembaga terkait (Bapepam-LK, BI, Bappebti, dan Kepolisian) yang hendak dilakukan melalui SKB merupakan sebuah jalan keluar yang sangat bagus mengingat sebenarnya lembaga-lembaga tersebut sudah memiliki ketentuan hukum masing-masing. Namun hingga kini, pembentukan SKB tersebut baru mencapai tahap inisiatif atau kesepakatan belaka yang belum terealisasikan.
Bentuk SKB sebagai wadah dari koordinasi seperti ini, kiranya perlu untuk dipertimbangkan kembali. Apabila sudah lebih dari tiga lembaga yang terlibat dalam koordinasi tersebut, akan lebih baik apabila diatur dalam Keputusan Presiden karena hal-hal yang akan dikoordinasikan sudah bersifat multi sektoral dan lebih rumit serta menghindari adanya saling lempar tanggung jawab. SKB lebih ideal dan tepat untuk suatu hal yang melibatkan maksimal tiga lembaga karena hal yang diatur masih belum terlalu rumit.
Selain perlu mempertimbangkan kembali wadah pengaturan koordinasi, para pihak yang terlibat akan lebih baik terdiri dari enam lembaga terkait, yaitu: Departemen Keuangan (secara tidak langsung akan mengikat Bapepam-LK), Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Departemen Perdagangan (secara tidak langsung akan mengikat Bappebti), Departemen Hukum dan HAM, dan Kepolisian RI.

Verifikasi Produk Investasi
Otoritas terkait dengan produk investasi di Indonesia, dapat melakukan koordinasi mengenai siapa yang berhak untuk melakukan verifikasi atas produk investasi yang beredar di masyarakat. Pengawasan terhadap produk investasi melalui verifikasi ini sudah lazim dilakukan di negara-negara maju. Tentunya tindakan verifikasi ini harus didasarkan pada suatu kriteria yang sudah ditentukan terlebih dahulu agar hasil dari penilaian tidak bersifat subyektif, melainkan didasarkan pada perhitungan investasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Apabila kemudian didapati bahwa produk investasi tersebut tidak lolos verifikasi, maka diberikan peringatan kepada masyarakat untuk jangan melakukan investasi di produk tersebut dan diambil tindakan terhadap perusahaan investasi yang bersangkutan. Hal ini bertujuan untuk melindungi publik dari produk investasi fiktif yang hanya memberikan janji yang tidak ada realisasinya ataupun memiliki kemungkinan wanprestasi yang besar dan berpotensi penipuan.

Otoritas Tunggal
Untuk jangka panjang, sebaiknya pengawasan kegiatan investasi dilakukan oleh otoritas tunggal (dapat dilakukan oleh Bapepam-LK, misalnya). Kerja sama antar instansi merupakan salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh, namun karena banyaknya pihak yang terlibat dalam pengawasan, terkadang hal ini justru dapat menimbulkan celah apabila salah satu institusi tidak menjalankan bagiannya dengan baik. Dengan pengawasan di satu wadah, seluruh kegiatan apapun yang terkait dengan investasi, akan masuk dalam pengawasan dan tidak dapat lagi terjadi saling lempar tanggung jawab.

PENUTUP
Inisiatif SKB yang telah diumumkan oleh Bapepam-LK, Bappebti, Bank Indonesia, dan Kepolisian RI, diharapkan tidak hanya berakhir sebagai inisiatif belaka. Wadah koordinasi yang lebih tepat, seperti Keputusan Presiden, dan pihak-pihak terkait hendaknya dapat menjadi pertimbangan lebih lanjut sebelum SKB tersebut direalisasikan. Selain itu, mekanisme verifikasi produk investasi dan kemungkinan kedepannya untuk ditetapkan otoritas tunggal pengawas produk investasi dapat dijadikan bahan pertimbangan memperkuat pengawasan produk investasi di Indonesia.

Tidak ada komentar: