Kamis, 16 Agustus 2007

CFISEL akan menerbitkan buku "Manajemen Kantor Advokat di Indonesia"

Dalam waktu dekat ini, CFISEL akan menerbitkan buku berjudul "Manajemen Kantor Advokat di Indonesia". Buku ini mencoba mengisi kekosongan referensi mengenai manajemen suatu kantor advokat. Buku berjudul "Manajemen Kantor Advokat di Indonesia" merupakan kumpulan materi yang disampaikan oleh para Advokat terkemuka pertama kali pada Pendidikan Hukum Lanjutan Advokat yang diselenggarakan CFISEL dan PERADI pada tanggal 21-22 Nopember 2007 lalu di Jakarta.

Dengan berisi pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan kantor Advokat dari para penulisnya, buku ini tentunya akan membuka cakrawala kita mengenai bagaimana mengelola kantor advokat agar terus berkesinambungan.

Bagi para pihak yang berminat, kami telah membuka pemesanan dan pembelian buku. Bapak/Ibu dapat menghubungi kami pada "Menu Alamat CFISEL" di samping atau email ke general@cfisel.com

Rabu, 15 Agustus 2007

Artikel tentang Kerugian Negara

SUATU TINJAUAN YURIDIS :
KERUGIAN NEGARA vs KERUGIAN PERSERO
ITA KURNIASIH, SH[1]
(artikel ini pertama kali dipublikasikan di PPH Newsletter pada edisi No. 66 tahun 2006)

A. PENDAHULUAN

Pemberantasan korupsi telah lama dilakukan dengan berbagai upaya untuk memberantasnya telah ditempuh dengan perubahan peraturan perundang-undangan dibidang korupsi, menempatkan korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun hingga saat ini belum juga memperoleh hasil yang memadai karena jumlah kasus korupsi tidaklah berkurang serta pengembalian kerugian negara belum juga optimal dilakukan sehingga tetap saja korupsi di Indonesia masih merajalela dengan berbagai bentuk dan modus operandinya.

Adapun beberapa hambatan yang menghadang dalam pemberantasan korupsi antara lain:
1. Hambatan Sosiologis
Pada kenyataannya praktek korupsi telah membudaya karena itu sekalipun perbuatan koruptif itu terlarang menurut hukumnya yang formal namun sebagai perbuatan yang telah memperoleh sanksi pembenaran dari sisi budaya. Sehingga hukum tak terlalu berdaya sebagaimana menurut Soetandyo sukarnya aparat hukum mendeteksi dan segera menindak perbuatan koruptif itu tak lain karena perbuatan jahat tersebut boleh digolongkan sebagai “kejahatan tanpa korban”.[2]
2. Hambatan Yuridis
· Terdapatnya hal-hal yang bersifat grey area yang potensial dapat menimbulkan berbagai penafsiran seperti pengertian korupsi dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), begitu luas sehingga menyebabkan banyak persepsi yang berkembang; batasan mengenai kekayaan negara dalam menentukan adanya kerugian keuangan negara menjadi perdebatan karena antara penegak hukum dan praktisi bisnis seringkali menggunakan batasan yang berbeda sehingga menimbulkan multiinterpretasi yang mengakibatkan sulitnya undang-undang tersebut operasional.
· Selain itu, tidak efektifnya penggunaan instrumen hukum perdata dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana dicantumkan pada Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C Undang-undang Tipikor karena pasal-pasal tersebut “tumpang” dengan instrumen pidana, artinya penggunaan instrumen hukum perdata tersebut digunakan ketika syarat-syarat dalam pasal 32, 33 34 dan 38C terpenuhi.[3]Peralihan dari ranah hukum pidana ke ranah hukum perdata, menurut Amir Syamsudin[4], tidaklah mudah dilakukan, karena adanya perbedaan karakteristik antara hukum pidana dan hukum perdata. Perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata antara lain, hukum pidana ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dengan pemberian sanksi sedangkan karakter hukum perdata yang secara khusus mempermasalahkan mengenai penataan hukum dan ganti rugi. Akibat pemisahan tersebut, menurut Satjipto Rahardjo, menyebabkan adanya prosedur yang berbeda dalam proses penyelesaian perkara perdata dan pidana/publik. Dalam perkara perdata, inisiatif terutama diserahkan kepada seseorang atau beberapa orang yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat; sedangkan dalam perkara pidana karena menyangkut kepentingan umum, maka negaralah yang mengambil inisiatif tersebut, kecuali pada delik-delik aduan, maka terlebih dahulu menunggu adanya pengaduan dari pihak yang bersangkutan.[5]

· Kemudian dalam rangka upaya pengembalian kerugian keuangan negara sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata yang konvensional berbeda dengan instrumen hukum pidana yang menggunakan sistem “pembuktian terbalik terbatas” sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 37 Undang-undang Tipikor.[6] Penggunaan instrumen hukum perdata yang standar atau konvensional tersebut banyak hambatan yang menghadang, antara lain proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu panjang, tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Disamping itu, sebagaimana pengamatan umum bahwa putusan hakim perdata sulit diduga (unpredictable).[7]

Terkait dengan hambatan tersebut diatas, berdasarkan hasil penelitian KHN dengan PPH bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan mekanisme hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32, 33, 34 dan 38 C Undang-undang Tipikor belum dilaksanakan atau dengan kata lain, belum pernah ada kasus empiris, dimana pasal-pasal tersebut telah dijadikan dasar untuk litigasi perkara perdata[8]. Secara historis menurut Benny K. Harman--dalam rangka pembahasan pasal-pasal rancangan undang-undang Tipikor pada waktu itu--pasal-pasal di atas merupakan hasil kompromi[9]. Akibatnya tidak berkurang jumlah kasus korupsi serta tidak optimalnya pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi tersebut padahal Undang-undang Tipikor telah beberapa kali mengalami perubahan bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai undang-undang ‘sapu jagad’ karena korupsi merupakan extraordinary crime. Kerugian negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi yang sering menimbulkan masalah disebabkan pengertian keuangan negara yang sangat luas karena penentuan kerugian negara bersifat grey area sehingga menimbulkan berbagai pendapat yang berbeda-beda.

B. Keuangan Negara vs Kekayaan Negara
Pengertian keuangan negara berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara[10], meliputi kekayaan negara yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya sebagaimana dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN.[11] Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, perlu ditinjau terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan keuangan negara dan kekayaan negara.

Permasalahan yang timbul disini adalah Kalangan BUMN berpendapatan bahwa pada saat kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di ranah hukum privat sehingga kekayaan tersebut bukan lagi menjadi kekayaan negara melainkan kekayaan perseroan. Namun kalangan Kejaksaan, berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan kedalam suatu perseroan tetap merupakan kekayaan negara, hal ini mendasarkan pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa keuangan negara termasuk juga uang yang dipisahkan di BUMN.

Menurut Arifin Suryaatmadja Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan[12], menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan negara karena semua keuangan dalam APBD dan BUMN Persero serta BUMD disebut sebagai keuangan negara, padahal sangat jelas dari sudut sistem maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan negara. Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis dan fungsinya sangat berbeda antara keuangan negara, keuangan daerah maupun keuangan BUMN Persero dan BUMD. [13]

Jadi permasalahan ini timbul setelah adanya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan, BUMN Persero menjadi tidak jelas karena BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-undang BUMN, pengelolaan BUMN Persero dilakukan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Ditambah lagi dengan keluarnya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pemisahan kekayaan BUMN dari kekayaan negara yang menimbulkan kontroversi dan diprotes dari banyak pihak karena dianggap menghalangi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal diatas, setidaknya menimbulkan permasalahan yaitu apakah kekayaan negara yang telah dipisahkan kedalam suatu perseroan tetap merupakan kekayaan negara? Apakah aset BUMN Persero dapat dikatakan sebagai kekayaan negara? Apakah kerugian persero adalah kerugian negara? Untuk menjawab permasalahan ini, pertama mencoba untuk melihat mengenai maksud dan tujuan perusahaan perseroan tersebut didirikan.

C. PERUSAHAAN PERSEROAN

Karakteristik Perseroan Terbatas
PERSERO atau Perusahaan Perseroan merupakan salah satu bentuk usaha negara yang diatur dalam Undang-Undang tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara tahun 1969. Berdasarkan undang-undang tersebut Persero adalah perusahaan dalam bentuk PT seperti diatur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995. Pengertian Persero adalah Badan Usaha MilikNegara (BUMN) yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan[14]. Berdasarkan pengertian tersebut adapun cirri-ciri pokok persero adalah[15]:
1. status hukumnya merupakan badan hukum berbentuk PT;
2. usahanya untuk memupuk keuntungan;
3. hubungan usahanya diatur menurut hukum perdata;
4. modal seluruhnya atau sebagian merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, dengan demikian dimungkinkan adanya join dengan swasta dan adanya penjualan saham perusahaan milik negara;
5. peranan pemerintah adalah sebagai pemegang saham dalam perusahaan.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa terhadap persero berlaku prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UUPT Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya. Dari pengertian PT tersebut, adapun ciri dasar dari perseroan terbatas adalah[16]:
1. PT sebagai subyek hukum terpisah dari pendiri maupun pengelolanya (persona standi in judicio) termasuk kepemilikan kekayaan dan asetnya. Berarti sejak status PT sebagai badan hukum maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemegang saham dan direksi terpisah dari PT itu sendiri. Perusahaan dengan tanggung jawab terbatas, tidak hanya kepemilikan kekayaan oleh perusahaan saja yang terpisah dengan uang yang dimiliki oleh orang yang menjalankan perusahan melainkan juga pemegang saham perusahaan tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan. PT bisa memiliki harta dan serta hak dan kewajiban sendiri terpisah dari harta dan kewajiban yang dimiliki oleh para direksi dan pemegang saham;
2. Pemegang saham:
a) bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan atau tanggung jawab terbatas (limited liability);
b) tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya;
c) tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan.
3. adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan direksi;
4. aset dalam bentuk saham yang membuatnya sangat mudah dialihkan, di jual, di gandakan
5. adanya pengurus yang diangkat dan adanya pendelegasian kewenangan dengan prinsip fiducia ( entrusted fiduciary duties);
6. adanya pihak penyandang dana yang disebut sebagai investor atau pemilik hak atas keuntungan, sehingga kekuasaan tertinggi berada pada RUPS.



PT Sebagai Model Yang Terpilih Untuk BUMN
Berdasarkan ciri tersebut diatas, yang membuat bentuk PT ini sebagai model yang terpilih bagi sebuah usaha ekonomi dan merupakan ujung tombak dari sebuah sistem ekonomi di negara manapun. Mengingat BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional sehingga BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara, pengurusan dan pengawasannya harus dilakukan secara profesional maka untuk mengatur BUMN secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha salah satunya dengan mengambil bentuk badan hukum perseroan terbatas sebagai badan hukum yang dapat diterima dan bermain di tataran sistem ekonomi dunia.

D. PEMISAHAN STATUS NEGARA SEBAGAI INVESTOR
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan BUMN Persero, tidak terdapat pemisahan antara status negara sebagai penyelenggara pemerintahan dengan status sebagai pelaku usaha (investor); investasi negara pada BUMN Persero tersebut belum diperlakukan sama sebagaimana halnya investasi swasta pada sebuah Perseroan Terbatas. Mengakibatkan permasalahan yang krusial melanda dikalangan perusahaan swasta maupun BUMN Persero salah satunya adalah kualifikasi kerugian keuangan negara yang tidak jelas, apakah kesalahan dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara. Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara dan ancaman tindak pidana korupsi.

Dalam masalah ini, diperlukan adanya pemisahan yang jelas mengenai status negara sebagai pelaku usaha dengan status negara sebagai penyelenggara pemerintah. Dengan adanya pemisahan tersebut maka terdapat kejelasan mengenai konsep kerugian keuangan negara. BUMN Persero sebagai salah satu bentuk badan usaha yang tujuannya mencari untung adalah badan hukum yang terpisah dan memiliki tangung jawab yang terpisah pula, walaupun dibentuk dan modalnya berasal dari keuangan negara dan kerugian satu transaksi atau kerugian dalam badan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara karena negara telah berfungsi sebagai badan hukum privat dan terhadap badan hukum tersebut berlaku juga ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas.

E. KERUGIAN NEGARA vs KERUGIAN PERSERO
Apabila ada kerugian yang terjadi di suatu BUMN Persero, belum tentu kerugian tersebut mengakibatkan kerugian negara melainkan kerugian tersebut bisa juga merupakan kerugian perusahaan (resiko bisnis) sebagai badan hukum privat. Mengenai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan tersebut seharusnya menggunakan doktrin Business Judgement Rule[17]. Dalam uUdang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) belum mengatur secara rinci mengenai konsep Business Judgment Rule. Pasal 85 ayat 1 dari UUPT hanya menyebutkan secara umum mengenai prinsip itikad baik dan tanggung jawab dari direksi dalam menjalankan perseroan. Namun dalam rancangan UUPT yang baru, konsep Business Judgment Rule telah dipertegas dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 102 ayat (4), dimana anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila dapat membuktikan bahwa:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Jadi dalam hal direksi dapat membuktikan keempat unsur diatas maka atas kerugian tersebut direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kerugian itu merupakan kerugian akibat resiko bisnis.

Namun dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara, masih berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-undang Keuangan Negara dan Penjelasan Umum Undang-undang Tipikor[18] yang menyatakan bahwa “Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara”, sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik, sehingga kalau uang negara berkurang satu sen pun, maka bisa dianggap merugikan negara. Padahal kerugian dalam suatu perusahaan tidak dihitung berdasarkan kerugian dari satu transaksi semata melainkan sebagaimana dalam pasal 60 Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bahwa RUPS tahunan menyetujui laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan, jadi jelas bahwa kerugian tidak dihitung berdasarkan satu transaksi melainkan seluruh transaksi dalam tahun tersebut. Karena bisa saja satu transaksi rugi tapi transaksi lain untung dan kerugian tersebut dapat ditutupi dengan dana cadangan perusahaan. Dengan demikian kerugian suatu BUMN Persero belum tentu merupakan kerugian negara.

Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur juga dalam hal pemegang saham yang merasa dirugikan akibat tindakan direksi, komisaris atau keputusan RUPS yang menyebabkan perusahaan rugi setelah direksi atau komisaris diberikan kesempatan sebagaimana ketentuan Business Judgment Rule, maka berdasarkan pasal 54 dan pasal 94 UU No. 1 tahun 1995, pemegang saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan. Selain itu, dalam hal pemegang saham melihat adanya indikasi pidana dari tindakan direksi atau komisaris yang menyebabkan kerugian tersebut, tahap pertama yang harus dilakukan adalah tahapan sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Perseroan Terbatas[19]. Kemudian penyelesaiannya akan menempuh jalur pidana sebagaimana tertuang dalam ketentuan KUHP.

F. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini, terdapat dua pendekatan tentang kerugian BUMN Persero dan kerugian negara, yaitu pendekatan bisnis (business judgement) dan pendekatan hukum (legal judgement) yang menghasilkan dua pengertian berbeda. Oleh karena itu kalau kita konsisten dengan pasal 11 UU No, 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 tahun 1995 maka atas kerugian BUMN Persero sebaiknya terlebih dahulu ditempuh mekenisme sebagaimana dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan pasal 2 UU No. 17 tahun 2003 dan penjelasan umum dari UU No. 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa kekayaan negara termasuk kekayaan yang negara yang telah dipisahkan pada perusahaan negara adalah keliru sebaiknya ketentuan tersebut diubah menjadi kekayaan negara yang telah dipisahkan dalam BUMN Persero bukan kategori kekayaan negara sebagaimana dalam Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006. semoga bermanfaat.

[1] Peneliti pada Centre for Finance and Securities Law (CFISEL)
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Korupsi Sebagai Pelanggaran Hak Publik: Sebuah Dilema, esai lepas yang tidak dipublikasikan.Ibid.

[3] Adapun kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (pasal 32 ayat (1) UU no.31 tahun 1999)
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun 1999)
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU no.31 tahun 1999)
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38 C UU no.20 tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya.

[4] Pendapat dari Amir Syamsudin disampaikan dalam acara Focus Group Discussion tentang Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Perdata Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 18 Mei 2006


[5]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet.V, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal.73.


[6] Indonesia Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001, Pasal 37:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi;
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh Pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan dakwaan tidak terbukti.

[7] Suhadibroto, Instrumen Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Negara Dalam Korupsi, Newsletter KHN, Edisi Maret-April, 2004
[8] Hasil Penelitian mengenai “Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Perdata dalam Tindak Pidana Korupsi”, oleh Komisi Hukum Nasional kerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum, 2006.
[9] Pendapat dari Benny K. Harman disampaikan dalam acara Lokakarya tentang Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Perdata Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 18 Juni 2006
[10] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
[11] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang BUMN
Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

[12] Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 23 pasca perubahan:
1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2) Rancangan Undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

[13]Arifin P. Soeriaatmadja, “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya bagi Indonesia Inc,” <http://www.ppatk.go.id/>, diakses tanggal 15 September 2005.

[14] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

[15] I.G. Rai Widjaya, “Hukum Perusahaan”, cetakan keenam, Kesaint Blanc: Jakarta, Mei 2006, hal 104
[16] Frank H. Easterbrook and Daniel R.Fischel, “The Economic Structure of Corporate Law”, Harvard University Press- Cambridge, Massachussetts, London, England, hal 40 -62
[17] Black Law Dictionary, yang dimaksud dengan Business Judgment Rule adalah the presumption that in making business decisions not involving direct self-interest or self-dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith and in the honest belief that their actions are in the corporation best interest. The rule shields directors and officer from liability for unprofitable or harmful corporate transaction if the transaction were made in good faith, with due care and within the director’s or officer’s authority.


[18] Pasal 1 angka 1 Undang-undang Keuangan Negara:
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pasal 2 :
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.

Penjelasan umum Undang-undang Tipikor, loc.cit
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.

[19] Indonesia, Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 1 tahun 1995, Pasal 110:
(1) Pemeriksaan terhadap perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh:
a. pemegang saham atas nama diri sendiri atau atas nama perseroan apabila mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah;
b. pihak lain yang dalam Anggaran Dasar perseroan atau perjanjian dengan perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.

True Sale Dalam Sekuritisasi Aset

MENCERMATI ASPEK TRUE SALE DALAM SEKURITISASI ASET :
SUATU PERBANDINGAN

Oleh: ITA KURNIASIH

Pembahasan dalam tulisan ini adalah mengenai aspek true sale dalam sekuritisasi aset melalui perbandingan ketentuan yang ada di negara lain baik negara dari sistem hukum common law maupun civil law. Aspek true sale menjadi suatu hal yang penting untuk dicermati dalam sekuritisasi asset karena salah satu kunci sukses dari proses sekuritisasi asset adalah terjadinya pengalihan asset keuangan secara true sale. Melalui true sale, investor menjadi pemilik atas asset keuangan tersebut sehingga menjadi secured investor. Selain itu, dengan terjadinya penjualan asset secara true sale maka terdapat pemisahan antara asset originator dengan resiko kredit originator. Oleh karena itu, sangat penting kiranya mengetahui kriteria apa saja yang harus dipenuhi agar terjadi pengalihan aset secara true sale dalam sekuritisasi asset. Pembahasan dalam tulisan ini terbagi menjadi empat bagian dimana bagian pertama merupakan pendahuluan yang akan membahas mengenai konsep true sale dan tujuan true sale, selanjutnya bagian kedua membahas mengenai kriteria terjadinya pengalihan aset secara true sale dalam sekuritisasi aset, kemudian bagian ketiga akan membahas mengenai kriteria piutang yang akan disekuritisasi, serta bagian terakhir akan membahas mengenai persyaratan apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai pengalihan piutang yang efektif.

I. Pendahuluan

Banyak Negara maju maupun Negara berkembang sumber pendanaannya menggunakan konsep pemanfaatan resiko kredit.[1] Sekuritisasi sebagai salah satu teknik keuangan yang menggunakan konsep pemanfaatan resiko kredit karena sekuritisasi merupakan suatu proses transformasi aset keuangan kreditur/originator yang tidak likuid menjadi likuid yaitu menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan sesuai dengan kebutuhan investor. Dengan demikian, perusahaan akan mendapatkan dana dengan menyerahkan aset keuangan yang dimilikinya dan kemudian diterbitkan suatu surat berharga oleh pihak lain yang dikenal dengan sebutan special purpose vehicle yang bertindak sebagai mediator antara pihak yang membutuhkan dana dengan investor sehingga mengubah ketergantungan kreditur kepada kemampuan debitur untuk melunasi pinjaman[2]. Oleh karena itu, definisi sekuritisasi adalah:[3]

Securitization is the process of transforming and illiquid asset into a tradeable security thereby rendering it liquid by the deployment or creation of some market mechanism.

Menurut Daniel Singer, kunci sukses sekuritisasi aset adalah kemampuan untuk memprediksi kelayakan kumpulan aset keuangan tersebut dan pengalihan aset keuanggan tersebut merupakan true sale dan bukan merupakan pendanaan oleh originator.[4] Oleh karena itu, salah satu elemen terpenting dalam proses sekuritisasi aset adalah pengalihan aset keuangan yang terjadi secara true sale.

Pengertian pengalihan aset keuangan yang terjadi secara true sale pada sekuritisasi asset pada umumnya adalah penjualan piutang tersebut haruslah merupakan penjualan putus, artinya originator tidak lagi memiliki kewajiban untuk membeli kembali piutang yang tidak tertagih oleh pembeli karena proses penjualannya dilakukan secara on balance sheet[5] dimana risiko penjual telah dialihkan kepada pembeli.

Oleh karena itu, tujuan disyaratkannya true sale adalah:[6]
a. untuk memisahkan asset yang akan disekuritisasi tersebut dari resiko kredit atas aset lainnya dan resiko entitasnya originator. Jika originator -sebagai penjual- mengalami pailit maka Undang-undang Kepailitan tidak dapat diterapkan karena aset yang dialihkan tersebut terlepas dari boedel pailit originator;
b. originator dapat memperoleh pendanaan lebih murah;
c. adanya pengalihan resiko kredit;
d. akses ke pasar modal;
e. menjadikan asset originator dalam posisi off-balance sheet sehingga akan memperbaiki tingkat leverage[7] (dhi. debt to equity) ratio dari originator karena semakin tinggi leverage suatu perusahaan maka semakin tinggi resiko default dan insolven.
f. investor menjadi secured lender sedangkan jika tidak true sale maka investor akan menjadi unsecured lender.[8]

II. Kriteria True Sale dalam Sekuritisasi Aset

II.1 Perbandingan kriteria true sale dalam sekuritisasi aset di beberapa Negara
Selanjutnya bagaimana menentukan bahwa pengalihan aset terjadi secara true sale dalam sekuritisasi aset? Mengenai hal ini, tidak terdapat satu ketentuan yang diterima secara universal. Namun masing-masing negara seperti Amerika, Jerman, Thailand dan Malaysia memiliki syarat-syarat tersendiri untuk menentukan pengalihan aset yang merupakan true sale dalam sekuritisasi aset sebagaimana dijelaskan di bawah ini, yaitu:
a. Amerika
Di Amerika tidak ada ketentuan khusus mengenai faktor-faktor untuk menentukan apakah pengalihan tersebut merupakan “true sale”. Pengadilan di Amerika melihat dua atau tiga faktor penting, yaitu:[9]
1. apakah maksud (intention) dari para pihak tersebut memang untuk melakukan transaksi jual beli atau hanya untuk menciptakan security interest bagi si transferor (dhi. originator) ?
2. disamping maksud tersebut, apakah atas risiko dan keuntungan dari kepemilikan asset tersebut telah dialihkan? Apakah transferor (originator) atau transferee (dhi. SPV) memegang risiko kehilangan atas asset yang telah dialihkan tersebut? Karena apabila terdapat ketentuan recourse bagi transferor (originator), hal ini tidak diklasifikasikan sebagai true sale;
3. apakah transferee (SPV) mendapatkan hak untuk melakukan identifikasi asset?

Untuk mengetahui maksud dari para pihak sebagaimana dalam angka 1 diatas, kita perlu mengetahui perbedaan pengalihan aset keuangan secara true sale dengan pengalihan aset keuangan secara pendanaan yaitu jika pengalihan kumpulan aset keuangan tersebut secara true sale maka aset keuangan tersebut tidak masuk dalam boedel pailit kreditur/originator jika kreditur/originator pailit karena aset telah dialihkan dan segala resikonya turut beralih ke pembeli sedangkan jika pengalihan kumpulan aset keuangan tersebut merupakan pendanaan atau pemberian pinjaman dari penerbit kepada originator maka aset tersebut masih merupakan bagian dari boedel pailitnya kreditur/originator jika kreditur/originator pailit karena prinsipnya piutang yang dijual tersebut tidak benar-benar dimaksudkan untuk dijual. Biasanya penjualan ini dalam rangka memperoleh pinjaman sementara.[10]

Hal ini dapat dilihat sebagaimana dalam kasus yang terjadi di Amerika seperti dalam kasus Best Product[11] dimana parent company mengalihkan asetnya berupa sewa tanah (ground leases[12]) kepada special purpose entity (SPE) yang dibentuk oleh parent company -sebagai syarat dari peminjam- kemudian SPE tersebut men-sublease kembali aset tersebut kepada parent company. Tujuan transaksi ini adalah untuk membiayai operasional showroom. Beberapa tahun kemudian setelah transaksi selesai, kedua perusahaan tersebut -parent company dan SPE- mengajukan pailit secara sukarela berdasarkan Pasal 11 Bancruptcy Code. Peminjam mengajukan automatic stay untuk menyita jaminannya. Pengadilan kepailitan menilai berdasarkan “economic substance” dari transaksi tersebut untuk menentukan apakah transaksi itu memang merupakan pendanaan atau “true lease”. Majelis hakim memutuskan bahwa transaksi tersebut merupakan transaksi dalam rangka pendanaan bukan merupakan “true lease”, berdasarkan penemuan dibawah ini:
1. Satu-satunya aset yang dimiliki SPE adalah ground lease;
2. sumber pendapatan SPE hanya dari sublease;
3. tidak ada pemisahan pihak antara anak perusahaan dan parent company dalam hal membayar kewajiban kepada lender dimana parent company yang membayar secara langsung kewajiban kepada lender dan
4. tujuan anak perusahaan tersebut adalah untuk memfasilitasi pendanaan bagi parent company.
Selain itu, majelis hakim menemukan pula bahwa para pihak dalam struktur transaksi tersebut untuk menghindari ketentuan state anti-deficiency rules dan peminjam (lender) mensyaratkan SPE untuk men-sublease kembali real property tersebut ke parent company sehingga peminjam (lender) dijamin bahwa parent company tetap bertanggung jawab atas sublease tersebut apabila SPE default.

Tujuan penilaian berdasarkan “economic substance” adalah untuk menilai maksud dari para pihak, yang tercermin dalam tujuan ekonomi dari peminjam (lender).[13] Dalam menganalisa berdasarkan economic substance, biasanya melibatkan faktor-faktor sebagai berikut[14]:
1. siapa yang memegang hak atas ground leases aset tersebut setelah jangka waktunya berakhir;
2. apakah leasing tersebut merupakan “triple net” leasing dimana lessee disyaratkan membayar pajak, utilities, biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk transaksi leasing tersebut, biaya asuransi dan biaya pemeliharaan; dan
3. apakah nilai pembayaran leasing sesuai dengan nilai underlying property atau dibayarkan kembali pinjaman tersebut dengan ditambah bunga.

Pertimbangan di atas, berlaku sama untuk menentukan struktur “true sale” dalam sekuritisasi aset. Dalam kasus Best Product diatas, majelis hakim menilai bukan termasuk dalam “true sale” dalam kontek sekuritisasi aset dengan pertimbangannya adalah sebagai berikut:
1. subsidiary (SPE) sebagai satu-satunya pihak untuk memfasilitasi pembiayaan untuk keuntungan parent company dan parent company menerima semua pendapatan dari subsidiary tersebut. Hal ini paling sering terjadi dalam sale/leaseback transaction; dan
2. antara anak perusahaan dan parent company tidak terpisah, dimana parent company bertanggung jawab secara langsung untuk membayar kewajiban kepada lender. Struktur seperti ini seharusnya dihindari jika transaksi tersebut sebagai transaksi sekuritisasi maka menggunakan prinsip “good faith” yang harus mencerminkan adanya arm’s length basis (prinsip kewajaran).

b. Jerman
Di Jerman juga tidak ada ketentuan khusus mengenai syarat-syarat true sale namun berdasarkan pada regulation of BAFin, Bundesbank dan factoring case law of German Federal Supreme Court dan juga ketentuan Basel II tersebut, untuk memenuhi kondisi itu, disyaratkan adanya kondisi-kondisi dibawah ini[15]:
1. risiko kredit penting yang berhubungan dengan asset yang disekuritisasi telah dialihkan ke pihak ketiga;
2. originator tidak mengatur asset tersebut atau
3. originator tidak mengawasi pengalihan asset;
4. investor memiliki hak untuk menggadaikan atau menukar tanpa adanya hambatan;
5. efek yang diterbitkan tidak membebankan originator;
6. originator tidak disyaratkan untuk meningkatkan posisi kredit karena ini merupakan tugas dari credit enhancement dan juga originator tidak disyaratkan untuk mengubah secara sistematik underlying asset dalam rangka memperbaiki kualitas kredit.

Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang perlu dianalisa yaitu[16]:
1. analisa terhadap risiko default dari debitur
dalam analisa ini membedakan transaksi true sale dengan transaksi factoring dengan menguji pada risiko default dari debitur.
2. analisa terhadap mekanisme harga, apakah harganya merupakan harga yang wajar
3. analisa terhadap kewenangan SPV untuk mengganti service agent setiap saat dan servicing fee telah dinegosiasikan secara wajar.
4. analisa terhadap kewenangan SPV untuk mengawasi pengumpulan underlying asset misalnya melihat semua catatan, baik dalam bentuk dokumen maupun soft copy yang berhubngan dengan piutang yang telah dialihkan tersebut;
5. analisa terhadap hak SPV untuk mengawasi kegiatan service agent-nya. Dalam secured loan agreement, kreditor tidak memiliki hak untuk mengakhiri perjanjian dan mengubah debitor kecuali jika debitor default. Di Jerman, dalam transaksi sekuritisasi apabila SPV ingin mengganti service agent maka pengganti service agent haruslah bank domestik atau bank yang berada di bawah pengawasan EU Banking Directive dan berasal dari salah satu negara-negara anggota European Union atau negara-negara anggota Convention on European Economic Area. Selain itu, servicing fee dinegosiasikan berdasarkan harga yang wajar. Hal ini berbeda dengan loan agreement biasanya dimana service agent bersifat pasif dan menerima harga yang ditawarkan oleh kreditor.
6. analisa terhadap hak SPV untuk mengeluarkan kebijakan mengenai kredit dan pengumpulan pembayaran atas piutang tersebut

c. Thailand
Thailand memiliki ketentuan mengenai karakteristik true sale berbeda halnya dengan Amerika dan Jerman. Ketentuan karakteristik true sale diatur dalam Royal Enactment on Special Purpose Juristic Persons for Securitization B.E. 2540 tahun 1997, dimana dalam Chapter 2 section 20 dinyatakan:
If the special purpose juristic person truly receives the transfer of assets from the seller of the assets, Section 114 of the Bankruptcy Act B.E. 2483 [1940] shall not apply. The true receipt of transfer from the seller of the assets in accordance with the first paragraph means a transfer of assets under which,
(1) the consideration is paid for at a fair market price;
(2) the special purpose juristic person will take the risks and receive returns on the assets; and
(3) the special purpose juristic person is entitled to the benefits inherent in the transferred assets.
Apart from the characteristics of the true receipt of the transfer of assets as prescribed in the second paragraph, the SEC may prescribe other additional characteristics.

Berdasarkan ketentuan di Thailand tersebut, kondisi dikatakan true sale apabila penjualan sesuai dengan nilai harga pasar yang wajar dan semua risiko serta keuntungan telah dialihkan kepada SPV. Permasalahannya, terdapat kesulitan untuk menentukan nilai harga pasar yang wajar tersebut. Selain itu, SEC Thailand berpendapat apabila originator tetap memegang beberapa risiko atas persetujuannya atau menerima bagian dari harga pembelian karena adanya pembayaran yang ditangguhkan, dinyatakan true sale tidak terjadi.[17]

d. Malaysia
Malaysia dalam rangka memfasilitasi penerbitan efek beragun asset di Pasar Modalnya, Badan Pengawas Pasar Modal di Malaysia membuat pedoman mengenai kriteria transaksi sekuritisasi yang tertuang dalam Pasal 32 Securities Commission Act tahun 1993. Adapun dalam pedoman tersebut, kriteria dikatakan true sale adalah:[18]
1. Aset keuangan tersebut harus dipisahkan dari originator dan kreditornya dalam hal originator mengalami pailit;
2. Originator harus mengalihkan semua hak dan kewajiban yang terkait dengan underlying asset tersebut kepada SPV dan tidak boleh menahan setiap manfaat dari underlying asset tersebut;
3. Originator tidak lagi sebagai pemegang hak atas aset tersebut baik langsung atau tidak langsung. Disamping itu, originator tidak boleh berada dalam posisi sebagai pengendali SPV dalam transaksi sekuritisasi aset;
4. SPV tidak mempunyai hak untuk meminta kembali (recourse) kepada originator atas kerugian yang ditimbulkan dari aset tersebut;
5. Dalam hal originator juga bertindak sebagai servicer, servis harus diberikan berdasarkan arm’s length basis (prinsip kewajaran) sesuai dengan term and kondisi yang umum berlaku;
6. Dalam hal originator juga selaku paying agent, tidak boleh terdapat kewajiban yang dikenakan kepada originator untuk memberikan dana kepada SPV kecuali sampai dengan dana tersebut diterima dari debitur.
7. Berdasarkan ketentuan 1 sampai dengan 6 :
· Originator boleh memiliki hak pertama untuk menolak atau membeli kembali asset dari SPV dalam hal asset tersebut mengalami penurunan level sehingga menjadi tidak ekonomis; atau
· Originator boleh membeli kembali asset dari SPV dalam hal originator telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam perjanjian jual beli dalam transaksi sekuritisasi tersebut.

II.2 Kriteria True Sale di Indonesia

Ketentuan yang berkaitan dengan sekuritisasi aset di Indonesia adalah :
1. Keputusan Menteri Keuangan No. 132/ KMK.014/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan yang telah diganti dengan Peraturan Presiden (PerPres) No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2005 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Pembiayaan sekunder perumahan merupakan penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan atau jangka panjang kepada kreditor asal dengan melakukan sekuritisasi.[19]
2. Bapepam-LK dari tahun 1997 hingga tahun 2004 telah mengeluarkan 5 peraturan yang terkait dengan penerbitan Unit Penyertaan Efek Beragun Aset, yaitu:
a. Peraturan Bapepam No. V.G.5 tentang Fungsi Manajer Investasi Berkaitan dengan Efek Beragun Aset;
b. Peraturan Bapepam No. VI.A.2 tentang Fungsi Bank Kustodian Berkaian dengan Efek Beragun Aset;
c. Peraturan Bapepam No. IX.C.9 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset;
d. Peraturan No. IX.C.10 tentang Pedoman Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset;
e. Peraturan No. IX.K.1 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
3. Peraturan BI No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum; dan
4. Rancangan Undang-undang (RUU) sekuritisasi yang saat ini masih dalam proses penyusunan.

Dalam Peraturan Bapepam dinyatakan bahwa manajer investasi wajib membeli aset dari kreditur awal dan dalam prospektus wajib memberikan penjelasan singkat mengenai jenis aset yang menjadi portofolio dari Efek Beragun Aset.[20] Selain itu, dalam Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 juga dinyatakan bahwa pembiayaan sekunder perumahan dilakukan dengan cara pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal.[21] Kemudian dalam rancangan undang-undang sekuritisasi dinyatakan bahwa pembelian aset keuangan adalah dalam bentuk jual lepas. Namun dalam rancangan undang-undang, ketentuan Bapepam ataupun peraturan presiden tidak dijelaskan mengenai kriteria penjualan dalam bentuk jual lepas. Mengenai kriteria tentang true sale hanya diatur dalam Pasal 5 PBI No. 7 /4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum, yaitu :
1. Kondisi jual putus terjadi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. seluruh manfaat yang diperoleh dan atau akan diperoleh dari asset keuangan telah dialihkan kepada Penerbit;
b. risiko kredit dari aset keuangan yang dialihkan secara signifikan telah beralih kepada Penerbit; dan
c. Kreditur Asal tidak memiliki pengendalian baik langsung maupun tidak langsung atas aset keuangan yang dialihkan.
2. Pemenuhan kondisi jual putus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan pendapat auditor independen dan pendapat hukum yang independen.

Mengenai kondisi tersebut diatas, Bank Indonesia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya kondisi-kondisi tersebut diatas. Selain itu, bagaimana pengertian kata “akan” sebagaimana terdapat dalam butir 1 a tersebut? Apabila originator pailit, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 jo Pasal 21 UU No. 37 tahun 2005 tentang Kepailitan[22] maka seluruh kewajiban originator termasuk juga kewajiban yang timbul dikemudian hari akan masuk boedel pailit. Sedangkan, dalam ketentuan PBI tersebut tidak ada pernyataan bahwa dalam rangka transaksi sekuritisasi aset maka ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan tersebut dikecualikan sehingga akan ada kemungkinan aset yang telah dijual tersebut akan masuk dalam boedel pailit dalam hal si originator pailit. Oleh karena itu, perlu adanya kejelasan mengenai kata “akan” sebagaimana terdapat dalam butir 1 a tersebut diatas apakah terhadap transaksi penjualan piutang dalam rangka sekuritisasi, ketentuan dalam Undang-undang Kepailitan menjadi tidak berlaku atas transaksi tersebut.

Oleh karena itu, kita dapat mencontoh seperti yang dilakukan di negara lain, yaitu:
1. untuk menentukan bahwa seluruh manfaat dan risiko dari aset keuangan telah dialihkan kepada penerbit, menurut penulis, Indonesia dapat mencontoh penilaian yang dilakukan di Amerika dan Malaysia menilai hal-hal seperti dibawah ini:
i. Maksud dari para pihak dalam transaksi sekuritisasi aset dengan melihat berdasarkan economic substance yang tercermin dalam tujuan dari adanya transaksi tersebut.
ii. semua risiko dan keuntungan dari kepemilikan asset tersebut telah dialihkan atau tidak. Karena menurut Pasal 1460 KUHPerdata adalah terhadap barang yang telah ditentukan dari awalnya oleh pembeli maka atas segala risiko ditanggung oleh si pembeli kecuali si penjual salah memberikan barang yang telah ditentukan maka si pembeli dapat meminta ganti atas barang yang salah tersebut sesuai dengan yang telah ditentukan;[23]
iii. Pemisahan aset keuangan dari originator dan kreditornya dalam hal originator pailit;
iv. Kewenangan SPV untuk tidak meminta kembali (recourse) kepada originator untuk bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari aset keuangan tersebut serta kewenangan untuk melakukan identifikasi aset.
2. untuk menilai bahwa kreditur asal/originator tidak memiliki pengendalian baik langsung maupun tidak langsung atas aset keuangan yang telah dialihkan tersebut, dapat dilakukan penilaian atas hal-hal sebagaimana dilakukan di Jerman, Malaysia dan Thailand yaitu:
a. originator tidak mengatur aset keuangan tersebut;
b. originator tidak mengawasi pengalihan aset tersebut;
c. originator tidak disyaratkan untuk meningkatkan posisi kredit dan juga tidak disyaratkan untuk mengubah secara sistematik underlying aset dalam rangka memperbaiki kualitas kredit;
d. originator tidak lagi sebagai pemegang hak atas aset keuangan tersebut dan originator tidak boleh dalam posisi sebagai pengendali SPV dalam transaksi sekuritisasi aset;
e. analisa terhadap mekanisme harga – apakah harganya merupakan harga yang wajar?
f. Analisa atas kewenangan SPV dalam hal:
1. penggantian dan pengawasan kegiatan service agent serta servicing fee telah dinegosiasikan secara wajar sesuai dengan term dan kondisi yang umum berlaku?
2. pengawasan pengumpulan underlying aset misalnya melihat semua catatan, baik dalam bentuk dokumen maupun soft copy yang berhubungan dengan piutang yang telah dialihkan tersebut?
3. mengeluarkan kebijakan mengenai kredit dan pengumpulan pembayaran atas piutang tersebut?

III. Kriteria piutang yang dapat disekuritisasi

Setelah kita melihat kriteria true sale, selanjutnya penting untuk mengetahui piutang yang bagaimana yang dapat disekuritisasikan, karena dengan pengalihan secara true sale maka segala manfaat dan risiko atas piutang telah beralih kepada pembeli sehingga penting untuk menilai kelayakan atas kumpulan piutang tersebut. Pada umumnya, piutang yang dapat disekuritisasi adalah setiap piutang atas nama yang sudah dapat ditagih bukan piutang atas nama yang belum dapat ditagih karena piutang yang belum dapat ditagih tersebut terdapat risiko akan masuk dalam boedel pailit jika si kreditur/originator tersebut pailit.

Peraturan Bapepam dan Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 telah mengatur aset keuangan yang dapat disekuritisasi adalah tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen, Efek bersifat hutang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement)/Arus Kas (Cash Flow), serta aset keuangan setara dan asset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut dan piutang yang diperoleh dari penerbitan KPR, termasuk hak agunan yang melekat padanya.[24] Sedangkan mengenai kriteria dari aset keuangan tersebut peraturan Bapepam dan Peraturan Presiden No. 19 tahun 2005 tersebut tidak mengatur namun Bank Indonesia telah mengatur mengenai kriteria aset keuangan yang dapat dialihkan dalam sekuritisasi aset yaitu[25]:
a. memiliki arus kas (cash flows);
b. dimiliki dan dalam pengendalian Kreditur Asal; dan
c. dapat dipindahtangankan dengan bebas kepada Penerbit.

Berbeda dengan di Malaysia, asset yang dapat disekuritisasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut[26]:
1. the assets must generate cash flow;
2. the Originator has a valid and enforceable interest in the assets and in the cash flows of the assets prior to any securitisation transaction;
3. there are no impediments (contractual or otherwise) that prevent the effective transfer of the assets or the rights in relation to such assets from an Originator to an SPV. For example:
· that the necessary regulatory or contractual consents have been obtained in order to effect the transfer of such assets from an Originator to an SPV;
· that the Originator has not done or omitted to do any act which enables a debtor of the Originator to exercise the right of set-off in relation to such assets;
4. the assets are transferred at a fair value;
5. no trust or third party’s interest appears to exist in competition with an originator’s interest over the assets; and
6. where the interest of an originator in the assets is as a chargee, the charge must have been created for a period of more than 6 months before the transfer.

Kalau kita membandingkan dengan kriteria yang disyaratkan di Malaysia, ketentuan di Malaysia lebih rinci daripada ketentuan yang ada di Indonesia. Mungkin ada baiknya Indonesia mengadopsi ketentuan di Malaysia tersebut khususnya ketentuan angka 3, yaitu:
there are no impediments (contractual or otherwise) that prevent the effective transfer of the assets or the rights in relation to such assets from an Originator to an SPV. For example:
· that the necessary regulatory or contractual consents have been obtained in order to effect the transfer of such assets from an Originator to an SPV;
· that the Originator has not done or omitted to do any act which enables a debtor of the Originator to exercise the right of set-off in relation to such assets;

Ketentuan diatas penting untuk ditambahkan dalam pengaturan kriteria aset keuangan di Indonesia, karena perjanjian kredit di Indonesia tidak standar, misalnya dalam perjanjian kredit antara debitur dan kreditur yang mensyaratkan debitur tidak memberikan ijin kepada kreditur untuk mengalihkan piutangnya kepada pihak ketiga. Ketentuan tersebut memberikan hambatan dalam pelaksanaan pengalihan piutang dalam proses sekuritisasi aset. Oleh karena itu, perlu ditambahkan kriteria diatas sehingga atas perjanjian kredit yang mengatur klausula seperti diatas bukan merupakan piutang yang dapat disekuritisasi.

IV. Pengalihan Aset

Setelah terjadi pengalihan secara true sale dan telah mengetahui kriteria piutang yang dapat disekuritisasi maka pembahasan selanjutnya adalah mengenai bagaimana penyerahan piutang tersebut mengingat perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang bersifat konsensual obligatoir, artinya baru meletakkan hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli namun belum mengalihkan kepemilikan[27]. Oleh karena itu, penyerahan piutang atas nama tersebut merupakan elemen terpenting karena sebagai yurisdische levering atau perbuatan hukum pengalihan hak milik[28].

Pengalihan piutang pada negara common law maupun civil law terdapat tiga cara yaitu: Assignment, Novasi dan Subpartisipasi (Subpartisipasi di Inggris di sebut partisipasi).[29] Sedangkan di Indonesia dan Belanda, assignment disebut Cessie, subpartisipasi atau partisipasi disebut subrogasi. Untuk novasi baik di Indonesia, Belanda maupun di Singapur, Jerman dan Inggris, menggunakan istilah yang sama.

Adapun perbedaan antara Novasi, Subrogasi dan Cessie adalah :
Cessie selalu terjadi karena perjanjian sedangkan subrogasi dapat terjadi karena undang-undang maupun perjanjian. Dalam Assignment atau cessie, utang piutang yang lama tidak hapus hanya beralih kepada pihak ketiga sebagai kreditor baru. Sedangkan dalam subrogasi, utang piutang yang lama hapus untuk kemudian diterbitkan kembali bagi kepentingan kreditor baru. Subrogasi terjadi sebagai akibat pembayaran sedangkan cessie dapat didasarkan atas berbagai peristiwa perdata misalnya jual beli maupun utang piutang. Dalam novasi, utang piutang yang lama hapus dan diganti dengan utang piutang yang baru. Perbedaan lainnya novasi merupakan hasil perundingan segitiga sedangkan dalam subrogasi pihak ketiga membayar kepada kreditor, debitor adalah pihak yang pasif dan dalam cessie, debitor selamanya pasif – hanya diberitahukan tentang adanya penggantian kreditor.[30]

Pengalihan asset dalam konteks sekuritisasi pada umumnya melalui cara assignment atau cessie dan jika melalui peristiwa perdata berupa perjanjian jual beli. Pengertian Assignment adalah pengalihan berdasarkan perjanjian dari seseorang (disebut assignor) kepada orang lain (disebut assignee) atas sebagian atau seluruh piutang assignor dari pihak ketiga[31]. Assignment dalam hukum common law ada 2 yaitu:
(1) Legal atau Absolut Assignment
adalah pengalihan seluruh hak yang melekat pada harta benda yang dialihkan tersebut. Dalam hal ini, piutang beserta segala hak yang melekat dan meliputi hak tanggungan yang melekat pada piutang KPR.[32] Pengaturan mengenai absolut assignment di Singapore diatur berdasarkan Section 4(6) Civil Law Act yaitu[33]:
any absolute assignement by writing under hand of the assignor, not purpoting to be by way of charge only, of any debt or other legal chose in action of which express notice has been given to the debtor, trustee or other person from whom the assignor would have been entitled to receive or claim such debt or chose in action, shall be and be deemed to have been affectual in law subject to all equities which would have been entitled to priority over the right of the assignee under the law as it existed before the 23rd Juli 1909 to pass and transfer the legal right to such debt or chose in action, from date of such notice, and all legal and other remedies for the same without the concurrence of the assignor.

Berdasarkan ketentuan diatas, hal yang penting adalah dalam absolute assignment mengalihkan hanya semua hak yang dimiliki assignor bukan kewajiban assignor dan pemberitahuan kepada si debitor sejak terjadi peralihan piutang tersebut.
Jadi, Legal assignment harus memenuhi empat syarat, yaitu[34]:
i. Pengalihan atas seluruh hak yang melekat pada harta benda tersebut;
ii. In writing yaitu pengalihan tersebut wajib untuk dilakukan secara tertulis agar memiliki akibat hukum;
iii. Pengalihan tersebut terhadap seluruh piutang tidak terhadap sebagian piutang;
iv. Pemberitahuan secara tertulis kepada debitor.


(2) Equitable Assignment
Sama halnya dengan absolute assignment dimana equitable assignment juga hanya mengalihkan hak yang dimiliki assignor tapi tidak mengalihkan kewajiban kepada assignee / buyer. Dalam equitable assignment, penjual/assignor akan mengalihkan sebagian hak dalam piutangnya atau memilih tindakan-tindakan yang diijinkan oleh penjual kepada pembeli. Dalam equitable assignment juga diperlukan pemberitahuan kepada debitor tetapi penjual masih harus bertanggung jawab atas penagihan piutang kepada debitor. Si pembeli dapat melakukan recourse kepada debitor untuk hal-hal yang berhubungan dengan beneficial interest dari sebagian piutang yang telah dialihkan tersebut dan dalam hal claim kepada debitor yang berwenang untuk mengklaim adalah si penjual.[35]

Dalam hukum Jerman mengenai pengalihan piutang, originator/penjual (yang memiliki piutang) dapat mengalihkan piutang kepada SPV tanpa perlu persetujuan dari debitur dan tidak terdapat persyaratan untuk melakukan pendaftaran jaminan yang melekat pada piutang tersebut. Jaminan/underlying asset dari piutang yang dijual tersebut (accessory colalateral) dapat beralih secara otomatis dengan adanya peralihan piutang tersebut. Akan tetapi untuk non accessory collateral dapat dialihkan dengan perjanjian assignment antara originator dan SPV. Untuk mortgage loan, perlu dilakukan pendaftaran kembali ke kantor pertanahan. Akibatnya biaya pendaftaran dapat menjadi high cost.[36]

Oleh karena itu di Jerman, dalam prakteknya, untuk mengatasi high cost tersebut terdapat konsep “contingent perfection” untuk menghindari biaya tinggi dan proses administrasi yang panjang. Dalam konsep ini mensyaratkan nama originator tetap sebagai pemegang atas jaminan tanah tersebut di kantor pendaftaran tapi sebagai fiduciary untuk SPV sepanjang utang tersebut masih berlangsung. Ketika rating originator turun misalnya menjadi A- maka originator meyiapkan untuk melakukan pendaftaran ulang. Ketika rating menjadi BBB, originator harus segera mengganti nama jaminan tersebut menjadi namanya SPV dikantor pendaftaran pertanahan. Bank di Jerman untuk menghindari pengaruh negatif dari Mortgage Backed Securities transaction, piutang yang dijamin dengan tanah (mortgage loans) tersebut dibuat sertifikat mortgage. Terhadap sertificate mortgage tersebut, tidak membutuhkan untuk mendaftarkan kembali setelah pengalihan tapi konsep kepemilikan atas mortgage certificate disyaratkan/dibutuhkan[37].

Di Jerman, terdapat beberapa hambatan-hambatan dari segi hukum atas pelaksanaan assignment yang menyebabkan proses assignment menjadi tidak efektif, yaitu[38]:
1. terdapatnya syarat dalam perjanjian kredit antara debitur dan kreditur yang mensyaratkan debitur tidak memberikan ijin kepada kreditur untuk mengalihkan piutangnya kepada pihak ketiga. Berdasarkan Pasal 354a German Comercial Civil, perlindungan terhadap counterparty dari assignor (originator) dalam kasus tersebut, bahwa counterparty berwenang untuk menghentikan utangnya yang dibayarkan kepada assignor atau assignee.
2. Issue lainnya, klausula mengenai negative pledge covenants yang menyatakan bahwa originator setuju tidak memberi interestnya atau sebaliknya membebani asetnya. Klausula tersebut menjadi suatu hambatan bagi proses assignment kepada pihak ketiga karena berdasarkan UU PT dan Code Civil Jerman, negative pledge covenants sah diatur dalam suatu perjanjian dan pelanggaran atas negative pledge covenant tersebut originator dinyatakan default.
3. Aspek lainnya yang juga mempengaruhi kemampuan originator untuk mengalihkan piutangnya adalah ketentuan yang terkait dengan data protection act dan Banking Secrecy. Menurut German Federal Data Protection Act tahun 2002, tidak boleh mengalihkan data nasabah kepada pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari masing-masing nasabah tersebut. Sebagai tambahan, institusi perkreditan di Jerman berkepentingan untuk menjaga kerahasiaan hubungan kontraktual antara institusi tersebut dengan nasabahnya, disebut banking secrecy. Pada sekuritisasi aset, dalam rangka mengevaluasi potential risk dari piutang yang akan dialihkan kepada SPE, perlu memberikan informasi kepada investor, perusahaan pemeringkat, dan pembeli (SPE) mengenai data-data yang penting yang berkaitan dengan piutang tersebut. Sejalan dengan German Federal Data Protection Act tahun 2002, Federal Banking Supervisory Office (BAKred) juga mensyaratkan persetujuan dari debitur apabila terjadi pengalihan personal data debitur dalam hal adanya pengalihan atas asset. Dalam prakteknya di Jerman, tidak mudah untuk mendapatkan persetujuan dari setiap debitur sebelum pengalihan asset tersebut. Terdapat tiga alternative yang tidak mensyaratkan adanya persetujuan dari debitur yaitu[39]:
a. jika originator sebagai service agen atau
b. jika data tersebut tanpa menyebutkan nama debitur atau
c. jika pihak ketiga secara tertulis menyatakan setuju untuk menjaga kerahasiaan atas data tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan hukum di Romania mengenai pengalihan piutang, sama terdapat tiga cara yaitu melalui novasi, assignment dan subrogasi. Untuk assignment atas piutang agar menjadi valid mensyaratkan pemberitahuan atau penerimaan dari debitor atas terjadinya assignment tersebut melalui akta notaries. Dalam Securities Act, Romania menyatakan bahwa pembeli dibolehkan untuk mendaftarkan piutang tersebut dengan menggunakan Electronic Archives of Movable Security dan pemberitahuan atas pengalihan piutang tersebut dalam waktu 15 hari sebelum penerbitan prospektus kemudian dikirim melalui surat kepada debitor atau diumumkan kepada debitor.[40]

Di Thailand, berdasarkan section 306 Thai Civic and Commercial Code mensyaratkan bahwa assignor atau assignee memberitahukan kepada debitor dengan adanya pengalihan piutang tersebut. Namun setelah dikeluarkannya ketentuan Emergency Decree on Special Purpose Vehicle for Securitization, BE 2540 tahun 1997, dalam rangka sekuritisasi asset, jika kreditur lama/originator bertindak sebagai servicer-yang berfungsi mengumpulkan tagihan dari debitur- maka tidak perlu adanya pemberitahuan kepada debitur atas pengalihan piutang tersebut. Namun jika servicernya bukan originator tersebut maka kreditur baru (SPV) perlu memberitahukan kepada debitur adanya pengalihan piutang tersebut. Hal ini karena debitur akan membayar utangnya kepada pihak lain bukan originator. Kemudian jika servicer – dalam hal ini originator- mengalami merger atau akuisisi maka tidak ada persyaratan bagi SPV untuk memberitahukan ke debitur bahwa telah terjadi pengalihan piutang dari originator kepada SPV.[41]

Sedangkan kalau di Belanda, mengenai pengalihan piutang diatur Niew Nederlands Burgerlijk Wetboek dalam Buku Afdeling 2 Overdracht van goederen en afstand van beperkterechten pasal 93 dan 94 dan Buku 6 Titel 2 Afdeling 1 Gevolgen van overgang van vorderingen. Dalam Pasal 93 (3.4.2.7) menyebutkan pengalihan piutang atas nama dilakukan dengan akta penyerahan piutang dan pemberitahuan kepada debitor. Pemberitahuan dilakukan oleh pihak yang menerima piutang. Dalam hal pihak debitor tidak diketahui berada dimana maka penyerahan piutang tersebut berlaku retroaktif pada hari itu dengan syarat hak tersebut berada pada pihak yang mengalihkan. Pemberitahuan segera dilakukan setelah pihak debitor diketahui ada dimana. Bagi pihak debitor dapat meminta salinan akta pengalihan piutang. Jika tidak ada akta atas pengalihan tersebut maka alas hak pengalihan tersebut harus dikomunikasikan kepada debitor secara tertulis sepanjang hal itu diperlukan.[42]

Selain itu, jika tagihan yang dialihkan tersebut dijamin dengan hipotek, originator/penjual/ kreditor lama atas permintaan kreditor baru harus memberikan bantuan agar hipotik dapat didaftarkan atas nama kreditor baru. Namun dalam pasal 144 (6.2.1.3) kewajiban yang lahir dari hak accesoir, kreditor lama/originator tetap harus menjamin pemenuhan atas kewajiban tersebut. Selanjutnya, dalam pasal 145 (6.2.1.4) menyebutkan bahwa pengalihan tagihan tersebut tidak mengakibatkan hilangnya hak debitor untuk membela diri, ketidakcakapan dari kreditor baru dapat dijadikan alasan untuk pembelaan diri apabila si kreditor baru tidak menyadari adanya ketidakcakapan tersebut. Selain hak untuk membela diri dari debitor, dalam pasal 149 (6.2.1.6a) mengatur bahwa bagi debitor yang mempunyai hak untuk membatalkan atau mengenyampingkan tindakan hukum yang lahir dari piutang tersebut terhadap kreditor lama/originator, maka debitor tersebut harus memberitahukan kepada kreditor baru tentang adanya hak-hak debitor tersebut segera mungkin kecuali pembatalan atau pengenyampingan tindakan tersebut tidak dapat diterapkan kepada kreditor baru.[43]

Kalau di Indonesia, ketentuan Cessie terdapat dalam Buku II pasal 613 Kitab Undang-Undang Perdata,[44] dimana dalam ketentuan pasal tersebut diatur bahwa penyerahan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat akta otentik atau dibawah tangan. Agar penyerahan tersebut berakibat hukum bagi debitor maka penyerahan tersebut diberitahukan kepada debitor. Mengenai pemberitahuan kepada debitor timbul perdebatan ada yang berpendapat tidak perlu pemberitahuan kepada debitur karena peralihan kepemilikan atas piutang dari kreditur awal kepada kreditur baru (SPV) adalah sah dengan adanya akta pengalihan cessie sehingga cessie ini merupakan jurisdische levering sebagaimana dimaksud pasal 584 KUHPerdata.[45] Namun ada yang berpendapat perlu dilakukan pemberitahuan kepada debitur karena pemberitahuan ini penting untuk menghalangi terjadinya set-off (perjumpaan utang) sebagaimana dalam pasal 1431 KUHPerdata[46] Selain itu juga agar memiliki dampak hukum bagi debitor karena dengan pemberitahuan kepada debitor maka debitor terikat untuk membayar kepada kreditur baru bukan kepada kreditur lama.

Mengenai hal ini, penulis berpendapat perlu dilakukan pemberitahuan kepada debitor untuk menghindari adanya itikad tidak baik dari debitur. Selain itu juga sejalan dengan pengaturan yang ada di negara lain yaitu di Belanda, Jerman, Singapore, Romania. Untuk mendapatkan pengalihan piutang yang efektif mungkin kita dapat mencontoh ketentuan pemberitahuan kepada debitur sebagaimana diatur di Romania yaitu bisa dilakukan melalui elektronik. Kemudian kalau kewajiban pembertahuan kepada debitur ini dalam prakteknya tidak mudah dilaksanakan kita juga dapat mencontoh ketentuan yang diterapkan di Jerman tanpa memerlukan persetujuan dari debitur dengan memberikan tiga alternative yaitu jika originator sebagai service agen atau jika data tersebut tanpa menyebutkan nama debitur atau jika pihak ketiga secara tertulis menyatakan setuju untuk menjaga kerahasiaan atas data tersebut. Kemudian sebagai akibat adanya peralihan piutang maka segala jaminan baik jaminan hak tanggungan maupun fidusia ikut beralih karena hukum dan peralihan jaminan didaftarkan oleh kreditur baru serta diberitahukan kepada pemberi fidusia.[47] Mengenai pendaftaran dan pemberitahuan tersebut akan menambah biaya bagi kreditur baru, menurut penulis, kita dapat mencontoh ketentuan yang ada di Jerman dimana dalam perjanjian pengalihan piutang tersebut diatur bahwa originator tetap sebagai pemegang atas jaminan tersebut dikantor pendaftaran tapi sebagai fiduciary untuk SPV sepanjang utang tersebut masih berlangsung. Selanjutnya, mengingat Burgerlijk Wetboek di Belanda mengalami perubahan maka seharusnya Indonesia juga melakukan perubahan atas ketentuan KUHPerdata kita. Adapun hal yang perlu diubah dalam ketentuan KUHPerdata kita adalah mengenai hak-hak debitur yaitu debitur berhak untuk membela diri dan debitur berhak untuk membatalkan atau mengenyampingkan tindakan hukum yang lahir dari piutang tersebut terhadap kreditor lama karena ketidakcakapan dari kreditur baru.

V. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwasanya mengenai kriteria true sale tidak terdapat ketentuan yang berlaku universal namun masing-masing negara seperti Amerika, Malaysia, Thailand, Jerman dan Indonesia memiliki parameter sendiri-sendiri. Ketentuan mengenai kriteria true sale ini ada yang diatur dalam suatu peraturan khusus seperti halnya di Thailand diatur dalam Royal Enacment on Special Purpose Juristic Person for Securitization B.E. 2540 tahun 1997, Malaysia diatur oleh Badan Pengawas Pasar Modal Malaysia dengan mengeluarkan pedoman mengenai kriteria true sale dan juga Indonesia yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/4/PBI/2005. Selain itu ada juga yang tidak diatur secara khusus seperti di Amerika dan Jerman namun berdasarkan praktek yang berlaku dan putusan hakim terdapat kriteria-kriteria yang perlu dilihat untuk menganalisa pengalihan piutang secara true sale dalam sekuritisasi aset.

Meskipun Indonesia telah memiliki ketentuan yang mengatur mengenai kriteria true sale sebagaimana dalam PBI No. 7 tahun 2005 tersebut namun ketentuan tersebut masih belum jelas sehingga perlu adanya penjelasan lebih lanjut atas kriteria-kriteria tersebut, yaitu:
1. Perlu adanya kejelasan mengenai kata “akan diperoleh dikemudian hari” sebagaimana dalam butir 1 a tersebut mengingat dalam ketentuan kepailitan seluruh kewajiban originator termasuk kewajiban yang timbul dikemudian hari akan masuk boedel pailit maka apakah terhadap transaksi penjualan piutang dalam rangka sekuritisasi Undang-undang Kepailitan tidak berlaku atas transaksi tersebut?
2. Parameter untuk menentukan bahwa seluruh manfaat dan risiko dari aset keuangan telah dialihkan kepada penerbit dengan menganalisa hal-hal seperti dibawah ini:
a. Analisa maksud (intention) dari para pihak dengan melakukan penilaian berdasarkan “economic substance” yang tercermin dalam tujuan ekonomi dari penjual.
b. Analisa apakah risiko dan keuntungan dari kepemilikan asset tersebut telah dialihkan?
c. Analisa apakah SPV mempunyai hak untuk meminta kembali (recourse) kepada originator atas kerugian yang ditimbulkan dari aset keuangan tersebut;
d. Analisa apakah aset keuangan yang telah dialihkan tersebut terpisah dari originator dan kreditornya dalam hal originator mengalami pailit?
3. Parameter untuk menilai bahwa kreditur asal/originator tidak memiliki pengendalian baik langsung maupun tidak langsung atas aset keuangan yang telah dialihkan tersebut, dapat dilakukan penilaian atas hal-hal berikut:
a. analisa kewenangan originator;
b. analisa kewenangan SPV dan
c. analisa harga apakah merupakan harga yang wajar atau tidak.


Selain kriteria true sale, dalam PBI tersebut diatur juga mengenai kriteria aset yang akan di sekuritisasi sebagaimana dalam pasal 2 PBI No. 7/4/PBI/2005 namun ketentuan ini masih belum lengkap perlu ada penambahan ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan di Malaysia, yaitu mengenai tidak terdapatnya ketentuan (dalam perjanjian kredit) yang dapat menghambat proses pengalihan aset dari originator kepada SPV.

Kemudian untuk mencapai pengalihan piutang yang efektif maka perlu adanya pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. pemberitahuan kepada debitur dilakukan secara elektronik seperti dilakukan di Romania;
b. kalau kewajiban pembertahuan kepada debitur ini dalam prakteknya tidak mudah dilaksanakan kita juga dapat mencontoh ketentuan yang diterapkan di Jerman tanpa memerlukan persetujuan dari debitur dengan memberikan tiga alternatif yaitu jika originator sebagai service agent atau jika data tersebut tanpa menyebutkan nama debitur atau jika pihak ketiga secara tertulis menyatakan setuju untuk menjaga kerahasiaan atas data tersebut;
c. pendaftaran jaminan, kita dapat mencontoh ketentuan yang ada di Jerman dimana dalam perjanjian pengalihan piutang tersebut diatur bahwa originator tetap sebagai pemegang atas jaminan tersebut dikantor pendaftaran tapi sebagai fiduciary untuk SPV sepanjang utang tersebut masih berlangsung;
d. hak-hak debitur.



[1] Shengzhe Wang, “True sale in Germany and China”, 15 Desember 2004, hal 9. Sekuritisasi asset di Amerika dimulai melalui penciptaan pass-through and participation certificates pada tahun 1970 oleh Government National Mortgage Association and Federal Home Loan Mortgage Corporation untuk menstimulasi pasar sekunder dalam single-family mortgages. Kemudian piutang yang dijadikan underlying berkembang tidak hanya hutang KPR saja tapi bisa juga untuk commercial mortgage, kartu kredit, kredit pemilikan mobil, kredit motor, trade receivables, franchise fee receivables, student loan. Di Amerika, volume produk sekuritisasi mengalami peningkatan sekitar pada tahun 1980an dan 1990an, sebagai contoh mortgage securities mengalami peningkatan pada akhir tahun 1980 sebesar $109 milyar kemudian meningkat pada akhir tahun 1984 sebesar $ 340 milyar. Total volume mortgage backed yang diterbitkan pada tahun 1989 meningkat sebesar $ 100 milyar, pada tahun 1992 mengalami peningkatan lagi sebesar $ 376 milyar dan di tahun 1993 mengalami peningkatan lebih lanjut sebesar $ 419.5 milyar.[1] Kemudian di tahun 1995 perkembangan pasar sekuritisasi telah berkembang dari 316 milyar US $ sampai dengan 1.5 triliun US $ dan 1.7 triliun US$ di tahun 2003. Sedangkan di negara-negara eropa pasar sekuritisasi berkembang dengan rata 61 % per tahun meskipun masih lebih rendah dari perkembangan AS. Sebagai contoh, di tahun 2001 untuk pertama kalinya, menerbitkan sekuritisasi di pasar eropa lebih dari 150 milyar euro. untuk mengetahui lebih jauh mengenai sejarah sekuritisasi dapat dilihat pada website http://www.dartmouth.edu/~mkohn

[2] Bapepam-Tim Studi Perdagangan Efek Beragun Aset, “Studi Tentang Perdagangan Efek Beragun Aset”,diterbitkan oleh Departemen Keuangan-Bapepam Proyek Peningkatan Efisiensi Pasar Modal Tahun 2003, hal 2.
[3] Hairani Saban, “Corporate Debt Securitization Regulation and Documentation”, Butterworths, 1994, hal 41
[4] Daniel Singer, “Chapter 2: Securitization Basics” dalam buku yang berjudul “Accesing Capital Markets Through Securitization”; editor Frank J. Fabozzi ; Frank J. Fabozzi Associates, New Hope-Pennsylvania, 2001; hal 13.
[5] On-balance sheet financing is any form of direct debt or equity funding of a firm. If the funding is equity, it appears on the firm's balance sheet as owners equity. If it is debt, it appears on the balance sheet as a liability. Any asset the firm acquires with the funding also appears on the balance sheet. Off-balance sheet financing, by comparison, is any form of funding that avoids placing owners' equity, liabilities or assets on a firm's balance sheet. This is generally accomplished by placing those items on some other entity's balance sheet. http://www.riskglossary.com/link/off_balance_sheet_finance.htm, diakses tanggal 3 Mei 2007.

[6] Shengzhe Wang, op cit, hal 22-23
[7] Leverage:
1. The use of various financial instruments or borrowed capital, such as margin, to increase the potential return of an investment.
2. The amount of debt used to finance a firm's assets. A firm with significantly more debt than equity is considered to be highly leveraged.
Leverage helps both the investor and the firm to invest or operate. However, it comes with greater risk. If an investor uses leverage to make an investment and the investment moves against the investor, his or her loss is much greater than it would've been if the investment had not been leveraged - leverage magnifies both gains and losses. In the business world, a company can use leverage to try to generate shareholder wealth, but if it fails to do so, the interest expense and credit risk of default destroys shareholder value.
Leverage can be created through options, futures, margin and other financial instruments. For example, say you have $1,000 to invest. This amount could be invested in 10 shares of Microsoft stock, but to increase leverage, you could invest the $1,000 in five options contracts. You would then control 500 shares instead of just 10. Most companies use debt to finance operations. By doing so, a company increases its leverage because it can invest in business operations without increasing its equity. For example, if a company formed with an investment of $5 million from investors, the equity in the company is $5 million - this is the money the company uses to operate. If the company uses debt financing by borrowing $20 million, the company now has $25 million to invest in business operations and more opportunity to increase value for shareholders.
[8] Vinod Kothari’s Securitization Website, “The True Sale Question”, http://www.vinodkothari.com/truesale.htm, diakses tanggal 23 Januari 2007.
[9] Ronald S. Borod, op cit, hal 7-24
[10] Ronald S. Borod, Securitization : Asset Backed Securities dan Mortgage Backed Securities, cetakan 6, Lexis Publishing, Charlottesville, Virginia-1999, hal 7-23
[11] Ronald S.Borod, op cit, hal 7-28 s/d 7-29
[12] Ground lease means A lease in which only the land is rented. also called land lease. http://www.investorwords.com/2254/ground_lease.html, diakses tanggal 3 Mei 2007.
[13] Ronald S. Borod, op cit, hal 7-29, sebagaimana dikutip dari Id. at 229: Queenan. Chapter 11 Theory in Practice. § 18.02.18:6 (1994 ed).
[14] Ibid, hal 7-29 , see e.g. Mater of James Wilson Associate, 965 F.26 160 (7th Cir. 1992); In re Chateugay Corp. 102 B.R. 335 (Bankr. S.D.N.Y. 1989); In re Picnic N Chiken. Inc. 58 B.R. 523 (Bankr. S.D. Cal. 1986); In re Nite Lite Inns. 13 B.R. 900 (Bankr S.D. Cal. 1981). See also In re Samoset Association. 24 U.C.C Rep. Serv. 510 (D.N.E 1978) (applying “economic substance” analysis in UCC context). But see In re Omne Partners II 67 B.R 793 (Bankr D.N.H. 1986) (court refuse to recharacterize commercial transaction to examine “economic substance” in the absence of some “triggering factor” such as ambiguity in the documentation); In re 207 Montgomery Street. Inc. 160 B.R. 181 (Bankr. N.D. Ala. 1992) (no characterization of lease where the public interest would be harmed).
[15] Shengze Wang, op cit, hal 40-41
[16] Shengze Wang, op cit, hal 42-47
[17] Dalam artikel yang berjudul “Thailand : A Securitization Brief”, hal 16 dan .lihat section 20 Emergency Decree on Special Purpose Vehicle for Securitization, BE 2540 tahun 1997.

[18] Suruhanjaya Sekuriti-Securities Commission, “Guideline on the Offering of Aset-Backed Debt Securities”, April 2001, hal 4
[19] Pasal 1 butir 11 Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan.
[20] Lihat angka 1.h Peraturan Bapepam No. IX.C.10 mengenai Pedoman bentuk dan isi prospectus dalam rangka penawaran umum Efek Beragun Aset dan angka 2.e Peraturan Bapepam No. V.G.5 mengenai Fungsi Manajer Investasi berkaitan dengan Efek Beragun Aset
[21] Pasal 4 Perpres No. 19 tahun 2005
[22] Pasal 1 angka 6 UUKepailitan
“kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”.
Pasal 21 UU Kepailitan:
“akibat kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”

[23] Pasal 1460 s/d 1462
Ps 1460. Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.
Ps 1461. Jika barang dijual bukan menurut tumpukan melainkan menurut berat, jumlah dan ukuran, maka barang itu tetap menjadi tanggungan penjual sampai ditimbang, dihitung atau diukur.
Ps 1462. Sebaliknya jika barang itu dijual menurut tumpukan, maka barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur.

[24] Lihat pasal 1 angka 2 Perpres No. 19 tahun 2005 dan angka 1 huruf b Peraturan Bapepam No. X.K.1
[25] Pasal 2 PBI No. 7/4/PBI/2005 tentang Prinsip Kehatian-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset bagi Bank Umum.
[26] Suruhanjaya Sekuriti-Securities Commission, loc cit, hal 4-5
[27] Pasal 1458 KUHPerdata:
Jual beli dianggap telah terjadi antar kedua belah pihak, seketika setelah penjual dan pembeli mencapai sepakat tentang barang dan harga meskipun kebendaan itu belum diserahkan dan harga belum dibayar.
[28] Pasal 1459 KUHPerdata:
Hak milik atas benda yang dijual tidaklah beralih kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan menurut pasal 612, 613, dan 616 KUHPerdata.
[29] Hairani Saban,op cit, hal 40-41
[30] Suharnoko dan Endah Hartati, “Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie Dalam KUHPerdata, Niew Nederlands Burgelijk Wetboek, Code Civil Perancis dan Common Law”, Edisi I cetakan II, Badan Penerbit Fakultan Hukum Indonesia – 2005, hal 101-102
[31] United Nations Commission on International Trade Law, “Receivables Financing Analytical Commentary on the draft Convention on Assignment of Receivables in International Trade”, Thirty-fourth session, Vienna, 25 June-13 July 2001.
[32]Gunawan Widjaja dan E.Paramitha Sapardan, Op cit, hal 40
[33] Hairani Saban, op cit, hal 42
[34] Gunawan Widjaja, op cit, hal 40, dikutip dari Thomas W. Albrecht dan Sarah J. Smith “Corporate Loan Securitization: Selected Legal and Regulatory Issue”, 8 Duke J. of Comp. Int’l Law, hal 434.
[35] Hairani Saban, op cit, , hal 42-44
[36] Shengzhe Wang, op cit, , hal 35
[37] Shengzhe Wang, op cit, , hal 36
[38] Shengzhe Wang, op cit, hal 37-40
[39] Shengze Wang, op cit, hal 39 dikutip dari German Federal Data Protection Act section 28 dan Circular 4/97 section III
[40] Edward Dobre, “Romania: True Sale Securitization”, http://www.iflr.com/?Page=10&PUBID=33&ISS=21019&SID=600933&TYPE=20, diakses pada tanggal 31 Desember 2006
[41] Dalam artikel Thailand : A Securitization Brief, hal 4-5 dan .lihat section 15 Emergency Decree on Special Purpose Vehicle for Securitization, BE 2540 tahun 1997.
[42] Suharnoko dan Endah Hartati, op cit, hal 104
[43] Ibid, hal106 -107
[44] Pasal 613 KUHPerdata:
§ Penyerahan akan piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan dengan mana hak atas kebendaan dilimpahkan kepada orang lain;
§ Penyerahan tsb bagi si berutang tidak ada akibatnya melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya;
§ Penyerahan tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

[45] Pasal 584 KUHPerdata:
Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.

[46]Pasal 1431 KUHPerdata :
Seorang debitur yang secara murni dan sederhana telah menyetujui pemindahan hak-hak yang dilakukan oleh kreditur kepada seorang pihak ketiga, tak boleh lagi menggunakan terhadap pihak ketiga ini suatu perjumpaan utang yang sedianya dapat diajukan kepada kreditur sebelum pemindahan hak-hak tersebut. Pemindahan hak-hak yang tidak disetujui oleh debitur, tetapi telah diberitahukan kepadanya, hanyalah menghalangi perjumpaan utang-utang yang lahir sesudah pemberitahuan tersebut.

[47] Lihat pasal 16 UU No. 4 tahun 1996 jo pasal 19 UU No. 42 tahun 1999.