SUATU TINJAUAN YURIDIS :
KERUGIAN NEGARA vs KERUGIAN PERSERO
ITA KURNIASIH, SH[1]
(artikel ini pertama kali dipublikasikan di PPH Newsletter pada edisi No. 66 tahun 2006)
A. PENDAHULUAN
Pemberantasan korupsi telah lama dilakukan dengan berbagai upaya untuk memberantasnya telah ditempuh dengan perubahan peraturan perundang-undangan dibidang korupsi, menempatkan korupsi sebagai salah satu prioritas dalam kebijakan nasional dan berkomitmen untuk secara berkesinambungan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun hingga saat ini belum juga memperoleh hasil yang memadai karena jumlah kasus korupsi tidaklah berkurang serta pengembalian kerugian negara belum juga optimal dilakukan sehingga tetap saja korupsi di Indonesia masih merajalela dengan berbagai bentuk dan modus operandinya.
Adapun beberapa hambatan yang menghadang dalam pemberantasan korupsi antara lain:
1. Hambatan Sosiologis
Pada kenyataannya praktek korupsi telah membudaya karena itu sekalipun perbuatan koruptif itu terlarang menurut hukumnya yang formal namun sebagai perbuatan yang telah memperoleh sanksi pembenaran dari sisi budaya. Sehingga hukum tak terlalu berdaya sebagaimana menurut Soetandyo sukarnya aparat hukum mendeteksi dan segera menindak perbuatan koruptif itu tak lain karena perbuatan jahat tersebut boleh digolongkan sebagai “kejahatan tanpa korban”.[2]
2. Hambatan Yuridis
· Terdapatnya hal-hal yang bersifat grey area yang potensial dapat menimbulkan berbagai penafsiran seperti pengertian korupsi dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), begitu luas sehingga menyebabkan banyak persepsi yang berkembang; batasan mengenai kekayaan negara dalam menentukan adanya kerugian keuangan negara menjadi perdebatan karena antara penegak hukum dan praktisi bisnis seringkali menggunakan batasan yang berbeda sehingga menimbulkan multiinterpretasi yang mengakibatkan sulitnya undang-undang tersebut operasional.
· Selain itu, tidak efektifnya penggunaan instrumen hukum perdata dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara sebagaimana dicantumkan pada Pasal 32, 33, 34, dan Pasal 38 C Undang-undang Tipikor karena pasal-pasal tersebut “tumpang” dengan instrumen pidana, artinya penggunaan instrumen hukum perdata tersebut digunakan ketika syarat-syarat dalam pasal 32, 33 34 dan 38C terpenuhi.[3]Peralihan dari ranah hukum pidana ke ranah hukum perdata, menurut Amir Syamsudin[4], tidaklah mudah dilakukan, karena adanya perbedaan karakteristik antara hukum pidana dan hukum perdata. Perbedaan antara hukum pidana dan hukum perdata antara lain, hukum pidana ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dengan pemberian sanksi sedangkan karakter hukum perdata yang secara khusus mempermasalahkan mengenai penataan hukum dan ganti rugi. Akibat pemisahan tersebut, menurut Satjipto Rahardjo, menyebabkan adanya prosedur yang berbeda dalam proses penyelesaian perkara perdata dan pidana/publik. Dalam perkara perdata, inisiatif terutama diserahkan kepada seseorang atau beberapa orang yang “merasa” bahwa haknya atau hak mereka dilanggar, yaitu oleh penggugat atau para penggugat; sedangkan dalam perkara pidana karena menyangkut kepentingan umum, maka negaralah yang mengambil inisiatif tersebut, kecuali pada delik-delik aduan, maka terlebih dahulu menunggu adanya pengaduan dari pihak yang bersangkutan.[5]
· Kemudian dalam rangka upaya pengembalian kerugian keuangan negara sepenuhnya tunduk pada hukum acara perdata yang konvensional berbeda dengan instrumen hukum pidana yang menggunakan sistem “pembuktian terbalik terbatas” sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 37 Undang-undang Tipikor.[6] Penggunaan instrumen hukum perdata yang standar atau konvensional tersebut banyak hambatan yang menghadang, antara lain proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu panjang, tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Disamping itu, sebagaimana pengamatan umum bahwa putusan hakim perdata sulit diduga (unpredictable).[7]
Terkait dengan hambatan tersebut diatas, berdasarkan hasil penelitian KHN dengan PPH bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan mekanisme hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 32, 33, 34 dan 38 C Undang-undang Tipikor belum dilaksanakan atau dengan kata lain, belum pernah ada kasus empiris, dimana pasal-pasal tersebut telah dijadikan dasar untuk litigasi perkara perdata[8]. Secara historis menurut Benny K. Harman--dalam rangka pembahasan pasal-pasal rancangan undang-undang Tipikor pada waktu itu--pasal-pasal di atas merupakan hasil kompromi[9]. Akibatnya tidak berkurang jumlah kasus korupsi serta tidak optimalnya pengembalian kerugian keuangan negara akibat korupsi tersebut padahal Undang-undang Tipikor telah beberapa kali mengalami perubahan bahkan sebagian orang menyebutnya sebagai undang-undang ‘sapu jagad’ karena korupsi merupakan extraordinary crime. Kerugian negara merupakan salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi yang sering menimbulkan masalah disebabkan pengertian keuangan negara yang sangat luas karena penentuan kerugian negara bersifat grey area sehingga menimbulkan berbagai pendapat yang berbeda-beda.
B. Keuangan Negara vs Kekayaan Negara
Pengertian keuangan negara berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara[10], meliputi kekayaan negara yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya sebagaimana dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN.[11] Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, perlu ditinjau terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan keuangan negara dan kekayaan negara.
Permasalahan yang timbul disini adalah Kalangan BUMN berpendapatan bahwa pada saat kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di ranah hukum privat sehingga kekayaan tersebut bukan lagi menjadi kekayaan negara melainkan kekayaan perseroan. Namun kalangan Kejaksaan, berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan kedalam suatu perseroan tetap merupakan kekayaan negara, hal ini mendasarkan pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa keuangan negara termasuk juga uang yang dipisahkan di BUMN.
Menurut Arifin Suryaatmadja Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan[12], menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan negara karena semua keuangan dalam APBD dan BUMN Persero serta BUMD disebut sebagai keuangan negara, padahal sangat jelas dari sudut sistem maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan negara. Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis dan fungsinya sangat berbeda antara keuangan negara, keuangan daerah maupun keuangan BUMN Persero dan BUMD. [13]
Jadi permasalahan ini timbul setelah adanya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan, BUMN Persero menjadi tidak jelas karena BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-undang BUMN, pengelolaan BUMN Persero dilakukan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Ditambah lagi dengan keluarnya Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pemisahan kekayaan BUMN dari kekayaan negara yang menimbulkan kontroversi dan diprotes dari banyak pihak karena dianggap menghalangi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal diatas, setidaknya menimbulkan permasalahan yaitu apakah kekayaan negara yang telah dipisahkan kedalam suatu perseroan tetap merupakan kekayaan negara? Apakah aset BUMN Persero dapat dikatakan sebagai kekayaan negara? Apakah kerugian persero adalah kerugian negara? Untuk menjawab permasalahan ini, pertama mencoba untuk melihat mengenai maksud dan tujuan perusahaan perseroan tersebut didirikan.
C. PERUSAHAAN PERSEROAN
Karakteristik Perseroan Terbatas
PERSERO atau Perusahaan Perseroan merupakan salah satu bentuk usaha negara yang diatur dalam Undang-Undang tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara tahun 1969. Berdasarkan undang-undang tersebut Persero adalah perusahaan dalam bentuk PT seperti diatur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995. Pengertian Persero adalah Badan Usaha MilikNegara (BUMN) yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan[14]. Berdasarkan pengertian tersebut adapun cirri-ciri pokok persero adalah[15]:
1. status hukumnya merupakan badan hukum berbentuk PT;
2. usahanya untuk memupuk keuntungan;
3. hubungan usahanya diatur menurut hukum perdata;
4. modal seluruhnya atau sebagian merupakan milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, dengan demikian dimungkinkan adanya join dengan swasta dan adanya penjualan saham perusahaan milik negara;
5. peranan pemerintah adalah sebagai pemegang saham dalam perusahaan.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa terhadap persero berlaku prinsip-prinsip Perseroan Terbatas. Berdasarkan pasal 1 ayat 1 UUPT Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaanya. Dari pengertian PT tersebut, adapun ciri dasar dari perseroan terbatas adalah[16]:
1. PT sebagai subyek hukum terpisah dari pendiri maupun pengelolanya (persona standi in judicio) termasuk kepemilikan kekayaan dan asetnya. Berarti sejak status PT sebagai badan hukum maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemegang saham dan direksi terpisah dari PT itu sendiri. Perusahaan dengan tanggung jawab terbatas, tidak hanya kepemilikan kekayaan oleh perusahaan saja yang terpisah dengan uang yang dimiliki oleh orang yang menjalankan perusahan melainkan juga pemegang saham perusahaan tidak bertanggung jawab atas utang perusahaan. PT bisa memiliki harta dan serta hak dan kewajiban sendiri terpisah dari harta dan kewajiban yang dimiliki oleh para direksi dan pemegang saham;
2. Pemegang saham:
a) bertanggung jawab hanya pada apa yang disetorkan atau tanggung jawab terbatas (limited liability);
b) tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya;
c) tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan.
3. adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan direksi;
4. aset dalam bentuk saham yang membuatnya sangat mudah dialihkan, di jual, di gandakan
5. adanya pengurus yang diangkat dan adanya pendelegasian kewenangan dengan prinsip fiducia ( entrusted fiduciary duties);
6. adanya pihak penyandang dana yang disebut sebagai investor atau pemilik hak atas keuntungan, sehingga kekuasaan tertinggi berada pada RUPS.
PT Sebagai Model Yang Terpilih Untuk BUMN
Berdasarkan ciri tersebut diatas, yang membuat bentuk PT ini sebagai model yang terpilih bagi sebuah usaha ekonomi dan merupakan ujung tombak dari sebuah sistem ekonomi di negara manapun. Mengingat BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional sehingga BUMN mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Negara, pengurusan dan pengawasannya harus dilakukan secara profesional maka untuk mengatur BUMN secara lebih komprehensif dan sesuai dengan perkembangan dunia usaha salah satunya dengan mengambil bentuk badan hukum perseroan terbatas sebagai badan hukum yang dapat diterima dan bermain di tataran sistem ekonomi dunia.
D. PEMISAHAN STATUS NEGARA SEBAGAI INVESTOR
Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan BUMN Persero, tidak terdapat pemisahan antara status negara sebagai penyelenggara pemerintahan dengan status sebagai pelaku usaha (investor); investasi negara pada BUMN Persero tersebut belum diperlakukan sama sebagaimana halnya investasi swasta pada sebuah Perseroan Terbatas. Mengakibatkan permasalahan yang krusial melanda dikalangan perusahaan swasta maupun BUMN Persero salah satunya adalah kualifikasi kerugian keuangan negara yang tidak jelas, apakah kesalahan dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara. Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara dan ancaman tindak pidana korupsi.
Dalam masalah ini, diperlukan adanya pemisahan yang jelas mengenai status negara sebagai pelaku usaha dengan status negara sebagai penyelenggara pemerintah. Dengan adanya pemisahan tersebut maka terdapat kejelasan mengenai konsep kerugian keuangan negara. BUMN Persero sebagai salah satu bentuk badan usaha yang tujuannya mencari untung adalah badan hukum yang terpisah dan memiliki tangung jawab yang terpisah pula, walaupun dibentuk dan modalnya berasal dari keuangan negara dan kerugian satu transaksi atau kerugian dalam badan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan negara karena negara telah berfungsi sebagai badan hukum privat dan terhadap badan hukum tersebut berlaku juga ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas.
E. KERUGIAN NEGARA vs KERUGIAN PERSERO
Apabila ada kerugian yang terjadi di suatu BUMN Persero, belum tentu kerugian tersebut mengakibatkan kerugian negara melainkan kerugian tersebut bisa juga merupakan kerugian perusahaan (resiko bisnis) sebagai badan hukum privat. Mengenai pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan tersebut seharusnya menggunakan doktrin Business Judgement Rule[17]. Dalam uUdang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) belum mengatur secara rinci mengenai konsep Business Judgment Rule. Pasal 85 ayat 1 dari UUPT hanya menyebutkan secara umum mengenai prinsip itikad baik dan tanggung jawab dari direksi dalam menjalankan perseroan. Namun dalam rancangan UUPT yang baru, konsep Business Judgment Rule telah dipertegas dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 102 ayat (4), dimana anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila dapat membuktikan bahwa:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Jadi dalam hal direksi dapat membuktikan keempat unsur diatas maka atas kerugian tersebut direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kerugian itu merupakan kerugian akibat resiko bisnis.
Namun dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara, masih berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-undang Keuangan Negara dan Penjelasan Umum Undang-undang Tipikor[18] yang menyatakan bahwa “Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara”, sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik, sehingga kalau uang negara berkurang satu sen pun, maka bisa dianggap merugikan negara. Padahal kerugian dalam suatu perusahaan tidak dihitung berdasarkan kerugian dari satu transaksi semata melainkan sebagaimana dalam pasal 60 Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bahwa RUPS tahunan menyetujui laporan tahunan dan pengesahan perhitungan tahunan, jadi jelas bahwa kerugian tidak dihitung berdasarkan satu transaksi melainkan seluruh transaksi dalam tahun tersebut. Karena bisa saja satu transaksi rugi tapi transaksi lain untung dan kerugian tersebut dapat ditutupi dengan dana cadangan perusahaan. Dengan demikian kerugian suatu BUMN Persero belum tentu merupakan kerugian negara.
Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur juga dalam hal pemegang saham yang merasa dirugikan akibat tindakan direksi, komisaris atau keputusan RUPS yang menyebabkan perusahaan rugi setelah direksi atau komisaris diberikan kesempatan sebagaimana ketentuan Business Judgment Rule, maka berdasarkan pasal 54 dan pasal 94 UU No. 1 tahun 1995, pemegang saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan. Selain itu, dalam hal pemegang saham melihat adanya indikasi pidana dari tindakan direksi atau komisaris yang menyebabkan kerugian tersebut, tahap pertama yang harus dilakukan adalah tahapan sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Perseroan Terbatas[19]. Kemudian penyelesaiannya akan menempuh jalur pidana sebagaimana tertuang dalam ketentuan KUHP.
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini, terdapat dua pendekatan tentang kerugian BUMN Persero dan kerugian negara, yaitu pendekatan bisnis (business judgement) dan pendekatan hukum (legal judgement) yang menghasilkan dua pengertian berbeda. Oleh karena itu kalau kita konsisten dengan pasal 11 UU No, 19 tahun 2003 tentang BUMN yang menyatakan bahwa BUMN Persero tunduk pada UU No. 1 tahun 1995 maka atas kerugian BUMN Persero sebaiknya terlebih dahulu ditempuh mekenisme sebagaimana dalam UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan ketentuan pasal 2 UU No. 17 tahun 2003 dan penjelasan umum dari UU No. 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa kekayaan negara termasuk kekayaan yang negara yang telah dipisahkan pada perusahaan negara adalah keliru sebaiknya ketentuan tersebut diubah menjadi kekayaan negara yang telah dipisahkan dalam BUMN Persero bukan kategori kekayaan negara sebagaimana dalam Fatwa Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006. semoga bermanfaat.
[1] Peneliti pada Centre for Finance and Securities Law (CFISEL)
[2] Soetandyo Wignjosoebroto, Korupsi Sebagai Pelanggaran Hak Publik: Sebuah Dilema, esai lepas yang tidak dipublikasikan.Ibid.
[3] Adapun kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (pasal 32 ayat (1) UU no.31 tahun 1999)
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun 1999)
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU no.31 tahun 1999)
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38 C UU no.20 tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya.
[4] Pendapat dari Amir Syamsudin disampaikan dalam acara Focus Group Discussion tentang Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Perdata Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 18 Mei 2006
[5]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet.V, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hal.73.
[6] Indonesia Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999 jo. No. 20 Tahun 2001, Pasal 37:
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi;
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh Pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan dakwaan tidak terbukti.
[7] Suhadibroto, Instrumen Perdata Untuk Mengembalikan Kerugian Negara Dalam Korupsi, Newsletter KHN, Edisi Maret-April, 2004
[8] Hasil Penelitian mengenai “Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Perdata dalam Tindak Pidana Korupsi”, oleh Komisi Hukum Nasional kerjasama dengan Pusat Pengkajian Hukum, 2006.
[9] Pendapat dari Benny K. Harman disampaikan dalam acara Lokakarya tentang Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Melalui Instrumen Hukum Perdata Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 18 Juni 2006
[10] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
[11] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang BUMN
Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.
[12] Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 23 pasca perubahan:
1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2) Rancangan Undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
[13]Arifin P. Soeriaatmadja, “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya bagi Indonesia Inc,” <http://www.ppatk.go.id/>, diakses tanggal 15 September 2005.
[14] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
[15] I.G. Rai Widjaya, “Hukum Perusahaan”, cetakan keenam, Kesaint Blanc: Jakarta, Mei 2006, hal 104
[16] Frank H. Easterbrook and Daniel R.Fischel, “The Economic Structure of Corporate Law”, Harvard University Press- Cambridge, Massachussetts, London, England, hal 40 -62
[17] Black Law Dictionary, yang dimaksud dengan Business Judgment Rule adalah the presumption that in making business decisions not involving direct self-interest or self-dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith and in the honest belief that their actions are in the corporation best interest. The rule shields directors and officer from liability for unprofitable or harmful corporate transaction if the transaction were made in good faith, with due care and within the director’s or officer’s authority.
[18] Pasal 1 angka 1 Undang-undang Keuangan Negara:
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Pasal 2 :
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah.
Penjelasan umum Undang-undang Tipikor, loc.cit
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan,termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat.
[19] Indonesia, Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 1 tahun 1995, Pasal 110:
(1) Pemeriksaan terhadap perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:
a. perseroan melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atau
b. anggota Direksi atau Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh:
a. pemegang saham atas nama diri sendiri atau atas nama perseroan apabila mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah;
b. pihak lain yang dalam Anggaran Dasar perseroan atau perjanjian dengan perseroan diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; atau
c. Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar