Rabu, 15 Agustus 2007

Artikel tentang Single Presence Policy

KONSOLIDASI PERBANKAN:
OPSI YANG SEHARUSNYA DITERAPKAN DALAM RANGKA IMPLEMENTASI SINGLE PRESENCE POLICY
Oleh

Muhammad Faiz Aziz

I. Pendahuluan
Pada awal Oktober 2006, Bank Indonesia (“BI”) menerbitkan Paket kebijakan Oktober 2006 yang dikenal dengan PAKTO 2006 , dimana salah satu isi paket tersebut adalah berisi Kebijakan mengenai Kepemilikan Tunggal Perbankan yang tertuang dalam Peraturan BI Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006, yang ditunjang dengan kebijakan mengenai pemberian insentif dalam rangka konsolidasi perbankan sebagaimana diatur dalam Peraturan BI Nomor 8/17/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006. Kebijakan SPP ini sebenarnya merupakan wujud langkah BI untuk menempuh heavy handed policy guna memaksa perbankan melakukan konsolidasi secara lebih cepat. SPP ini sebenarnya bukan kebijakan yang muncul secara tiba-tiba dan berdiri sendiri, karena SPP sesungguhnya merupakan salah satu rangkaian upaya BI dalam menegakkan Pilar I Arsitektur Perbankan Indonesia (“API”) yaitu Penguatan Struktur Perbankan Nasional dan Pilar III API yaitu Peningkatan Fungsi Pengawasan.
Di samping itu, penegakan API tersebut sebenarnya juga merupakan implementasi atas 25 Core Principles of Banking Supervision yang diterbitkan oleh Basle Committee Banking for Supervision. Kebijakan SPP ditempuh oleh BI akibat imbauan BI kepada perbankan nasional untuk melakukan konsolidasi melalui merger secara sukarela ternyata tidak membuahkan hasil yang menggembirakan. Sejak diluncurkannya API pada tahun 2004, ternyata hingga tahun 2006 ini hasil konsolidasi perbankan sangat minimal sehingga jika kondisi ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan dapat mengganggu agenda BI dalam mereduksi jumlah bank di tahun 2010.
Sebagaimana diketahui, kebijakan ini mengharuskan kepada seluruh pemilik bank khususnya pemegang saham pengendali (“PSP”) untuk mengkonsolidasikan kepemilikannya di bank-bank yang dalam satu grup usahanya dengan batas waktu hingga tahun 2010. Ada 3 (tiga) opsi yang ditawarkan oleh BI melalui kebijakan tersebut yaitu divestasi (penjualan saham-saham miliknya), merger atau konsolidasi, dan yang terakhir adalah pembentukan perusahaan induk di bidang perbankan.
Dengan batas waktu hingga tahun 2010 dan sanksi yang akan diterapkan oleh BI jika kebijakan tersebut dilanggar dan tidak dipenuhi, hal ini tentunya menjadi pekerjaan yang cukup berat yang harus dijalankan oleh masing-masing PSP bank. Namun, sebagai kompensasi atas kebijakan tersebut, BI menawarkan suatu insentif yang bertujuan memudahkan konsolidasi bank dan diharapkan mampu mendorong bank untuk berkonsolidasi. Dengan tawaran 3 (tiga) opsi tersebut, disini timbul pertanyaan yaitu apakah seluruh opsi tersebut dapat mereduksi jumlah bank yang saat ini berjumlah 131 bank dalam hubungannya mencapai tujuan dari fungsi pengawasan dan penguatan struktur perbankan?
Hakekat dari kebijakan ini adalah penguatan struktur perbankan dan efisiensi penerapan fungsi pengawasan. Apa yang telah dilakukan oleh BI sebelum penerbitan kebijakan ini tentunya telah diperhitungkan dan dipertimbangkan secara matang. Persinggungan penerapan kebijakan ini dengan beberapa kebijakan maupun regulasi lain di bidang perbankan, pasar modal, korporasi, BUMN, dan persaingan usaha tentunya juga telah dipelajari dengan seksama dan hati-hati agar tidak terjadi pertentangan satu sama lain.
Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan di atas, tentunya kita harus meninjau dan menganalisa kebijakan SPP tersebut secara normatif yuridis, dan API itu juga. Namun, sebelum membahas mengenai analisa dan tinjauan atas opsi mana yang seharusnya di terapkan atau boleh dikatakan diwajibkan dari SPP, kita perlu ketahui juga mengenai API itu sendiri sebagai kerangka dasar pengembangan perbankan nasional. Setelah itu, selanjutnya kita perlu untuk membahas opsi-opsi kebijakan dari SPP. Dan, setelah itu masuk ke dalam analisa atas API dan SPP.

II. API (Arsitektur Perbankan Indonesia) dan Regulasi SPP

A. API


API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu 5 (lima) sampai 10 (sepuluh) tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang hendak dicapai oleh API adalah untuk mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kedudukan API dalam dunia perbankan Indonesia bukanlah hanya sebagai policy recomendation bagi dunia perbankan untuk mengantisipasi segala perubahan global perbankan, namun API pada hakekatnya adalah suatu policy direction dan blueprint dari perbankan yang penuh visi mengenai struktur dan tatanan perbankan nasional yang menentukan bagaimana arah dan bentuk perbankan nasional di masa mendatang yang meliputi aspek yang luas termasuk kelembagaannya, pengawasan, pengaturan, dan sebagainya.
Sesuai dengan visi API, struktur dan sasaran yang ingin diciptakan dalam penataan dan penciptaan struktur perbankan yang optimal adalah sebagai berikut:
1. terdapat 2 sampai 3 bank yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp 50 triliun;
2. terdapat 3 sampai 5 bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun;
3. terdapat 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun; dan
4. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar.

Bagaimana untuk mencapai sasaran tersebut? Salah satunya adalah melalui peningkatan permodalan dan hal ini cukup penting. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan cara penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru; merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru; penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal; dan penerbitan subordinated loan.
Namun, upaya ini bukanlah menjadi satu-satunya upaya. Untuk mempermudah pencapaian visi API, ditetapkan juga sasaran yang berupa 6 (enam) pilar API yang menjadi tools dalam membantu perwujudan visi API, yaitu:
1. Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat;
2. Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif;
3. Menciptakan industri perbankan yang kuat;
4. Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional;
5. Mewujudkan infrastruktur yang lengkap; dan
6. Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.

Untuk mewujudkan 6 (enam) pilar di atas yang juga merupakan program API, enam pilar atau program tersebut dilaksanakan secara bertahap dan diberikan tenggat waktu hingga tahun 2010, sehingga pada tahun 2011 telah tercapai struktur perbankan ideal sesuai visi API.

B. Regulasi SPP

SPP lahir sebagai tindak lanjut dan implementasi dari program API khususnya Pilar 1 mengenai Penguatan Struktur Perbankan Nasional dan Pilar 3 mengenai Peningkatan Fungsi Pengawasan, yang lalu dituangkan dan diatur dalam Peraturan BI Nomor 8/16/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kepemilikan Tunggal Perbankan Indonesia.
Apa yang dimaksud dengan SPP itu sendiri dalam Peraturan BI tersebut? Peraturan tersebut mendefinisikan SPP dengan istilah “Kepemilikan Tunggal” yaitu suatu kondisi dimana suatu pihak hanya menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Bank. Bank apa saja yang masuk dalam ruang lingkup kebijakan ini? Yaitu hanya Bank Umum dan tidak termasuk Bank Perkreditan Syariah, Kantor Cabang Bank Asing, Bank Campuran, Bank Holding Company dan Bank Umum Syariah.
Bagi bank-bank yang telah memiliki dan mengendalikan lebih dari 1 (satu) bank, berdasarkan peraturan SPP, wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikannya hingga tahun 2010. Dalam rangka penyesuaian struktur kepemilikan ini, BI memberikan 3 (tiga) buah pilihan yaitu:
1. mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi Pemegang Saham Pengendali pada 1 (satu) Bank; atau
2. melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; atau
3. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), dengan cara:
a. mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company; atau
b. menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.

Tiga opsi di atas yang menurut BI menjadi opsi bagi bank dalam mencapai tujuan konsolidasi dari perbankan. Namun, apakah opsi ini memang benar-benar dapat mengkonsolidasikan perbankan dan mengurangi jumlah bank yang diinginkan oleh BI? Dan, mengapa BI menerbitkan juga kebijakan mengenai insentif atas konsolidasi perbankan? Untuk mengetahuinya, pada bahasan berikut akan diberikan analisa normatif yuridis dan konsep mengenai hal itu.

III. Tinjauan atas Tiga Opsi dalam Pengimplementasian SPP

Dalam pembahasan ini kita perlu lihat lagi mengenai filosofi dari API itu sendiri dan kebijakan SPP. Apabila kita telusuri sejarah, latar belakang, dan filosofis dari SPP ini sendiri yang kemudian dikaitkan dengan API, maka kita dapat peroleh bahwa SPP ini merupakan implementasi dari API, dan API sendiri dibuat dengan latar belakang dalam rangka penciptaan tatanan dan stuktur perbankan yang kuat, sehat, dan kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Penciptaan ini lebih lanjut dilatarbelakangi pengalaman krisis yang melanda Indonesia tahun 1997-1998, yang membuat bank-bank Indonesia berjatuhan dan berguguran, dan krisis ini disebabkan salah satunya oleh karena fundamental perbankan Indonesia yang pada saat itu belum kuat. Dalam upaya penataan kembali perbankan nasional, BI sebagai otoritas perbankan merasa perlu untuk membuat sebuah policy direction atas sistem perbankan Indonesia di masa mendatang, yang lebih lanjut kemudian dikenal dengan API.
Saat ini, total keseluruhan bank yang ada di Indonesia berjumlah 131 bank. Jumlah ini bila dibandingkan dengan jumlah bank lain di Asia Tenggara sebenarnya masih terbanyak diantara jumlah bank di Negara Asia tenggara yang lain. Dari 131 bank tersebut, 43 bank (di luar bank campuran dan bank asing) memiliki modal di bawah Rp. 100 miliar. Padahal, API sendiri mensyaratkan jumlah modal minimum paling rendah adalah Rp. 100 miliar. Sebenarnya, untuk mencapai tingkat efisiensi bank tersebut diperlukan modal sebesar US $ 2 miliar – 10 miliar. Jumlah modal tersebut tentunya bagi bank-bank di Indonesia sangat besar. Namun, bila dibandingkan dengan modal minimum di beberapa negara lain, sebenarnya modal minimum Indonesia adalah yang paling kecil.
Untuk mengatasi masalah ini, tentunya langkah konsolidasi perbankan merupakan suatu keharusan. Sebagai tindak lanjutnya, penerbitan SPP dianggap BI merupakan langkah yang tepat dalam mencapai tujuan konsolidasi perbankan dan me-reduce jumlah kepemilikan dan pengendalian satu pihak terhadap lebih dari satu bank. Dengan adanya pengedalian satu pihak terhadap lebih dari 1 (satu) bank menjadikan pengawasan bank menjadi kurang efisien dan terjadi benturan kepentingan dalam grup bank yang dikendalikan atau dimiliki. Dengan SPP, BI disamping bermaksud untuk menguatkan struktur perbankan, namun juga bermaksud untuk meningkatkan efisiensi pengawasan.
Untuk mengetahui opsi mana yang seharusnya diterapkan dari kebijakan SPP tersebut, terdapat satu hal penting yang harus kita perhatikan yaitu konsolidasi, karena konsolidasi perbankan inilah yang menjadi alat untuk penguatan struktur perbankan yang sehat, kuat, efisien dan kompetitif. Konsolidasi ini pula menjadi kata-kata yang sering disebut oleh Bank Indonesia dalam setiap kesempatan. Bila kita me-refer kepada kata “Konsolidasi” tadi, maka ada beberapa pengertian mengenai ini.
1. Konsolidasi atau consolidate is to combine or unify into one mass or body (Black’s Law Dictionary 7th edition). Dalam konteks korporasi, consolidate is to unite (two or more corporations) to create one new corporation.
2. Konsolidasi menurut Findlaw Dictionary adalah “to combine (two or more lawsuits or matters that involve a common question of law or fact) into one.”
3. Konsolidasi adalah peleburan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan (Kamus Serapan Asing).
4. Konsolidasi adalah amalgamation of two small companies to form a new corporation. Dan, amalgamation (peleburan) sendiri adalah the act of combining or uniting.
5. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank, yang dimaksud dengan Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) buah bank atau lebih, dengan cara mendirikan Bank baru dan membubarkan Bank-bank tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsolidasi merupakan suatu perbuatan menggabungkan 2 (dua) atau lebih badan atau bank menjadi satu. Bila merujuk pada PP No. 28 Tahun 1999 di atas, maka akibat hukum konsolidasi akan menimbulkan satu badan hukum atau bank baru dengan nama baru. Bagaimana dengan merger yang juga memiliki pengertian yang sama dengan konsolidasi? Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu. Dengan demikian, antara merger dan konsolidasi memiliki pengertian yang sama, namun dalam hukum bisnis hanya berbeda pada akibat hukum yang ditimbulkan.
Dengan mengacu kepada pengertian konsolidasi di atas dan konsolidasi berdasarkan kebijakan BI dalam API, lalu dikaitkan dengan 3 opsi dalam SPP, maka kita bisa meninjau opsi mana yang seharusnya diterapkan dari kebijakan SPP tersebut sebagai berikut :
1. Divestasi atau penjualan saham. Melalui divestasi atau penjualan saham, kepemilikan atau pengendalian suatu bank dapat beralih kepada pihak lain, baik melalui secondary offering maupun instrumen lainnya. Namun, divestasi tidak akan mencapai tujuan dari konsolidasi tersebut, karena bank yang dijual tidak bubar dan jumlah bank masih tidak berkurang. Dengan divestasi, tidak terjadi sebuah konsolidasi, namun yang ada hanyalah peralihan kepemilikan atau pengendalian. Pengendali semula bank tersebut justru “berpisah” dari bank yang didivestasikan.
2. Merger dan atau peleburan. Melalui merger dan atau peleburan, 2 (dua) atau lebih bank akan bergabung baik dengan nama baru maupun tidak. Bank-bank yang digabungkan bisa merupakan masih satu grup pengendalian, atau berbeda grup. Namun, dalam konteks SPP khususnya, maka bank-bank yang digabungkan merupakan berada di bawah satu grup pengendalian. Dengan merger atau peleburan, modal dan aset dari beberapa bank akan bersatu dan menjadi besar. Namun, upaya ini penuh resiko dan mahal. Dampak yang ditimbulkannya pun akan besar terutama dari segi ketenagakerjaan yang kemudian berujung kepada pengangguran dan gangguan ekonomi, apalagi bila ini berlaku bagi bank-bank BUMN. Akan tetapi, bila kita perhatikan filosofi, dan tujuan dari API sendiri, maka merger dan atau peleburan dapat mengkonsolidasikan dan mengurangi jumlah bank yang ada di Indonesia saat ini, di samping mampu meningkatkan efisiensi pengawasan dari BI..
3. Pembentukan bank holding company. Sehubungan dengan tujuan konsolidasi perbankan, upaya ini bisa menjadi jalan keluar di samping merger karena lebih murah . Dengan upaya ini, PSP membentuk bank induk yang hanya memiliki kegiatan sebagai holding company. Holding company tersebut mengkonsolidasikan kegiatan bank-bank yang berada di bawahnya. Namun, melalui upaya ini jumlah bank bukannya berkurang, namun bertambah, dan ini tidak pula dapat mencapai tujuan dari konsolidasi perbankan maupun akan peningkatan efisiensi pengawasan perbankan.

Dari 3 opsi tersebut, kita bisa lihat bahwa merger/peleburan dan holding company merupakan opsi yang tepat dalam upaya mengkonsolidasikan perbankan. Namun, bila memperhatikan makna konsolidasi sebagai tujuan dari API khususnya Pilar 1 dan Pilar 3, maka opsi merger dan peleburanlah yang seharusnya diterapkan dalam mewujudkan visi API dalam mencapai tujuan penguatan struktur perbankan, dan peningkatan efisiensi pengawasan perbankan. Opsi ini mungkin dalam implementasinya akan menimbulkan polemik. Namun, walaupun opsi ini akan mengalami banyak polemik bila diterapkan, dan mungkin akan berpengaruh terhadap perekonomian, akan tetapi tidak ada cara lain yang pasti dalam rangka mengurangi dan mengkonsolidasikan jumlah bank yang diinginkan sesuai dengan visi API. Dengan demikian, bukan divestasi dan bukan pula pembentukan Bank Holding Company.
BI mungkin sebaiknya belajar dan mencoba meniru keberanian dan ketegasan Bank of Thailand (BOT/bank sentralnya Thailand) dalam memajukan kembali dunia perbankannya. Negara ini juga menerapkan kebijakan yang serupa dengan Indonesia yang dikenal dengan one presence policy. One presence policy berdasarkan Thailand Financial Sector Master Plan 2004 (FSMP), mensyaratkan kepada semua perusahaan holding bank untuk mengkonsolidasikan grupnya yang menjalankan lebih dari satu cara pengerahan dana pihak ketiga (more than one type deposit taking) menjadi commercial bank atau full service bank, agar memiliki ruang lingkup bisnis yang lebih besar dan menghindari konflik antar peraturan yang mengatur lembaga keuangan. Dalam hal ini, yang diinginkan oleh otoritas perbankan Thailand adalah menggabungkan lembaga keuangan bank dan non-bank menjadi satu perusahaan agar dapat menjadi stabil dan mampu berkompetisi, yang ujungnya tentu mampu mengembangkan kembali perekonomian Thailand.
Kebijakan ini tidak hanya berlaku bagi bank lokal baik bank pemerintah atau swasta namun juga bagi bank-bank asing terutama yang hendak mengkonversikan diri dari kantor cabang menjadi subsidiary atau yang akan mengakuisisi bank-bank lokal. Untuk memudahkan konsolidasi tersebut, FSMP menentukan kenaikan modal yang signifikan, menjadi 5 miliar baht bagi bank-bank lokal, dan antara 250 juta baht dan 5 miliar baht untuk bank asing. Setiap lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank diwajibkan untuk memenuhi persyaratan modal tersebut untuk menjadi commercial bank dengan jangka waktu 1 sampai dengan 3 tahun. Apabila lembaga-lembaga tersebut sampai dengan jangka waktu 3 tahun tidak dapat memenuhi persyaratan modal di atas, Ministry of Finance Thailand melalui BOT memberikan kesempatan agar menjadi retail bank atau restricted bank dengan ruang lingkup yang lebih terbatas dan modal minimum yang lebih kecil yaitu 250 juta baht. Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi bank lokal dan bukan foreign subsidiary bank. Apabila lembaga-lembaga keuangan tersebut pun akhirnya tidak dapat memenuhi persyaratan tadi, maka lembaga keuangan tersebut hanya akan menjadi perusahaan pembiayaan (kredit) dan tidak boleh menarik dana masyarakat.
Melalui FSMP dan one presence policy di Thailand, terdapat kemajuan yang telah dicapai oleh Thailand dalam penerapan kebijakan ini sejak tahun 2004 lalu. Diantaranya, yaitu jumlah bank yang ada saat ini telah berkurang dari jumlah 83 buah sebelum tahun 2004 menjadi 37 setelah tahun 2004. Bandingkan dengan Indonesia, yang hingga saat ini masih sedikit walaupun API telah diimplementasikan.

Kesimpulan & Rekomendasi
Dengan keluarnya kebijakan SPP, BI sebenarnya telah melakukan langkah tepat dalam rangka penguatan struktur perbankan dan efisiensi pengawasan perbankan. Namun, sayangnya sikap BI kurang tegas khususnya dalam rangka pengurangan jumlah bank-bank tersebut. Hal ini tercermin dari adanya 3 opsi yang ditawarkan dalam kebijakan SPP. Dari 3 opsi tersebut, hanya merger dan peleburan/konsolidasilah sebenarnya yang dapat mengurangi jumlah bank dan mencapai tujuan hakiki dari kebijakan kepemilikan tunggal. Dan, memang secara normatif yuridis dan konsep adalah memang demikian. Untuk apa membuat SPP dengan 3 (tiga) opsinya, namun di samping kebijakan tersebut diiringi dengan kebijakan pemberian insentif konsolidasi? Hal itu sebenarnya telah mencerminkan sikap BI yang kompromistis dan belum tegas dalam mengimplementasikan cita-cita konsolidasinya.
Berdasarkan hal tersebut, perlu kiranya meninjau kembali dan bila perlu merevisi aturan mengenai SPP tersebut dengan hanya menawarkan (baca: mewajibkan) bank-bank untuk menggabungkan dua atau lebih bank yang berada di bawah kepemilikannya. Bila mereka masih belum mau menggabungkan bank-banknya hingga batas waktu yang ditetapkan, maka berlakukanlah kepada mereka seperti di Thailand, yaitu lembaga keuangan tersebut hanya akan menjadi perusahaan pembiayaan (kredit) dan tidak boleh menarik dana masyarakat.

Tidak ada komentar: